21 December, 2014

Mamuju

Mamuju, Sulawesi Barat. Propinsi paling muda di Sulawesi, pemekaran wilayah dari Sulawesi Selatan, adalah tujuan saya berikutnya.

Ini adalah kunjungan saya untuk pertama kalinya ke Mamuju. Sebenarnya dua tahun yang lalu, saya sudah sempat berencana untuk mengunjungi Mamuju. Tetapi saat itu hanya ada satu kali penerbangan pulang-pergi dari Makassar ke Mamuju dalam satu hari dengan menggunakan Wings Air, itupun hanya dua kali dalam seminggu, sehingga saya harus tinggal di Mamuju lebih lama dari kebutuhan saya.

Bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Barat
Setelah saat ini ada dua kali penerbangan dari Makassar ke Mamuju, satu penerbangan dengan Garuda dan satu penerbangan dengan Wings per harinya, barulah saya bisa mengunjungi Mamuju untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan perencanaan pembukaan cabang Lejel Home Shopping di Mamuju.

Karena tidak ada penerbangan langsung ke Mamuju dari Jakarta, saya harus pindah pesawat di Makassar untuk selanjutnya menuju Mamuju. Tetapi nampaknya nasib saya kurang baik dalam business trip kali ini karena cuaca yang tidak bersahabat. Di Makassar saya harus menikmati delay selama hampir empat jam. Bila ditambah dengan jeda waktu antar penerbangan yang sekitar tiga jam apabila kondisi normal, maka saya "terjebak" di Makassar selama hampir tujuh jam.

Saya sempat berencana untuk keluar dari Bandara dan melewatkan waktu di kota Makassar. Jalan-jalan di Mall tentunya akan amat sangat menyenangkan bila dibandingkan dengan menunggu di Bandara. Tetapi saya harus mengurungkan niat untuk ke kota Makassar karena teringat berita beberapa hari terakhir tentang maraknya demo mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Daripada saya tidak bisa kembali ke bandara apabila ternyata ada demo dan terjebak, lebih baik saya tetap tinggal di Bandara.

Jadilah saya menghabiskan waktu selama hampir tujuh jam di Executive Lounge Garuda Indonesia. Saya yakin petugas-petugasnya sudah sampai bosan melihat saya di lounge, sebentar-sebentar hilir mudik iseng mengambil makanan kecil dan minuman.

Setelah pada akhirnya boarding call terdengar dan mengalami penerbangan yang beberapa kali terguncang cukup lumayan, sayapun mendarat di kota Mamuju dengan total waktu perjalanan dari Jakarta selama kurang-lebih 10,5 jam atau hampir setara dengan penerbangan dari Denpasar ke Sydney pulang pergi.

Selat Makassar, dari kamar hotel D'Maleo
Setibanya di D'Maleo Hotel Mamuju sekitar pukul 7 malam, baru badan ini terasa lelah sekali. Tetapi saya belum bisa beristirahat karena sudah ada janji untuk makan malam dengan teman-teman media lokal dan karena awalnya kami berencana untuk meeting siang harinya (yang terpaksa dibatalkan karena pesawat mengalami delay), jadilah acara makan malam dilanjutkan dengan meeting kecil sampai jam setengah sebelas malam.

Karena terlalu lelah, malam itu saya tidur tanpa mimpi sama sekali dan bangun cukup pagi untuk meeting lagi pada pukul 9 dan dilanjutkan dengan survey lokasi sampai jam 4 sore. Setelah beristirahat sejenak dan shower, saya masih ada acara makan malam dengan teman media yang lain dan disambung dengan meeting lagi sampai jam sepuluh malam.

Menurut saya, kota Mamuju cenderung sepi dan tidak dinamis. Bahkan belum ada pusat perbelanjaan yang representatif mengingat ini adalah ibukota propinsi. Nampaknya terlalu dipaksakan untuk pemekaran dan menjadi ibukota propinsi. Tetapi itu urusan politik dan perut bagi sebagian orang di sini. Urusan saya adalah bagaimana caranya Lejel Home Shopping bisa berjualan dan produknya laris manis.

Keesokan harinya, kembali saya harus bangun pagi karena ada meeting lagi pukul 9 dan dilanjut dengan perjalanan ke bandara untuk terbang ke Makassar dan kemudian akan dilanjutkan dengan penerbangan ke Jakarta.

Lagi-lagi saya harus menikmati delay selama 2 jam di Mamuju karena faktor cuaca dan tambahan delay lagi selama 3,5 di Makassar karena lagi-lagi faktor cuaca. Amat sangat menjengkelkan, tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa karena kita berhadapan dengan alam. Setidaknya secara total waktu masih 1,5 jam lebih cepat dibandingkan pada saat saya berangkat.

Jember

Kali ini saya berkesempatan untuk pergi ke Jember, sebuah kota di Jawa Timur, untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan mempelajari kemungkinan membuka cabang Lejel Home Shopping.

Bandara Juanda, Surabaya
Perjalanan ke Jember saya awali dengan penerbangan paling pagi ke Surabaya, berangkat pukul 05:30 dari Jakarta, kemudian disambung dengan penerbangan pukul 07:50 dari Surabaya ke Jember.

Saya memilih untuk naik pesawat ke Jember karena apabila menggunakan mobil dari Surabaya akan memakan waktu sedikitnya 3,5 jam. Dengan pesawat hanya membutuhkan waktu 35 menit saja.

Setelah mendarat, sebelum turun dari pesawat, terlihat bandara Jember yang mungil dan bentuknya tidak seperti bandara pada umumnya. Lebih menyerupai rumah-rumah jaman Belanda dan fasilitas bandaranya sederhana. Jangankan garbarata, conveyor belt untuk bagasi pun tidak tersedia. Bagasi diserahkan melalui semacam jendela dari luar, mengingatkan saya pada bandara Domine Eduard Osok di Sorong yang pernah saya kunjungi dan sudah saya tuliskan sebelumnya.

Bandara Notohadinegoro, Jember
Bandara Notohadinegoro Jember, saat ini hanya melayani penerbangan Garuda dari dan ke Surabaya, masing-masing satu kali penerbangan dari Surabaya dan satu kali penerbangan ke Surabaya per harinya.

Kota Jember cukup menarik. Kecil, simpel, tenang, tetapi komplit. Harga makanan cukup, bahkan beberapa sangat murah bagi saya yang sehari-harinya hidup di Jakarta. Bahkan harga makanan di hotel tempat saya menginap - Aston Jember, yang notabene adalah hotel berbintang, masih lebih murah dibandingkan harga makanan di Bellezza, gedung kantor tempat saya bekerja. Tetapi yang paling penting, rasa masakannya sangat cocok bagi lidah saya yang memang lahir dan besar di Jawa Timur.

Tiga hari dua malam saya lewatkan di Jember, menuntaskan tugas untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan melakukan beberapa survey kecil-kecilan sebelum saya terbang lagi ke Surabaya dan dilanjutkan dengan penerbangan kembali ke Jakarta.