05 August, 2015

Vespa Primavera

Sudah 4 bulan sejak posting terakhir saya. Bukannya saya tidak pergi kemana-mana, tetapi karena tempat-tempat yang saya kunjungi sejak bulan April lalu hingga bulan Juli, yaitu ke Bali, Batam, Singapore, Ternate dan Manado, sudah pernah ada di posting-posting saya sebelumnya dan kebetulan tidak ada hal-hal baru yang menarik untuk diceritakan.

Baru datang dan langsung diajak berfoto..
Satu hal yang hampir terlewat untuk diceritakan adalah adanya penghuni baru di garasi saya. Sudah cukup lama saya ingin membeli Vespa, tetapi karena bukan kebutuhan pokok, jadilah rencana membelinya dikalahkan oleh banyaknya kebutuhan dan keinginan saya yang lain. Apalagi sudah ada 1 moge matic dan 1 bebek matic di garasi.

Kalau sudah rejeki, memang tidak akan kemana-mana. Akhirnya saya mendapat Vespa di bulan kelahiran saya. Hadiah Ulang Tahun untuk saya dari saya sendiri. Awalnya saya berniat untuk memilih Vespa Sprint sesuai masukan dari jagoan saya yang sulung dan yang nomer 2.Tetapi jagoan saya yang bungsu terus menerus memberi masukan (bahasa halus untuk memaksa) untuk memilih Vespa Primavera.

Masukan si bungsu ternyata ada benarnya juga karena pada saat saya mencoba Vespa Sprint di showroom, hanya jempol kaki saya yang sukses menyentuh lantai. Bisa kram kalo harus berjinjit terus. Giliran mencoba Primavera, hasilnya lebih manusiawi karena walaupun kaki saya belum bisa seratus persen menapak, tetapi setidaknya lima jari dan telapak kaki bagian depan sudah bisa menapak. Ukuran velg Primavera memang lebih rendah 1 inchi dibandingkan Sprint

Sebenarnya kalau dilihat spesifikasinya, Vespa tidak terlalu tinggi. Tetapi setelah saya perhatikan, ternyata jok-nya lebar, sehingga kaki tidak bisa lurus menjejak ke tanah.

Setelah akhirnya memutuskan untuk memilih Vespa Primavera, barulah kesibukan berburu asesoris dimulai. Saya baru tahu kalau ternyata bukan hanya Harley-Davidson yang asesorisnya banyak. Asesoris Vespa juga tidak kalah banyak.. Mulai dari asesoris untuk pengendara sampai asesoris untuk motornya.

Jadilah akhirnya saya membeli crash bar, back rack, front bumper, pet lampu dan mud flap untuk si Vespa. Sudah selesai? Ternyata belum. Karena si Vespa belum keluar plat nomornya dan saya sudah tidak sabar untuk membeli asesorisnya, jalan satu-satunya adalah membeli asesoris dan memasangnya sendiri. Saya sangat percaya diri bahwa memasang asesoris-asesoris tersebut sangat mudah, apalagi penjualnya mengatakan bahwa semuanya tinggal plug & play. 

Setelah beberapa jam keringat bercucuran dan segala bentuk keluhan dan umpatan keluar, saya hanya sukses memasang mud flap saja. Saya yakin ada kesalahan pada asesoris-asesoris lainnya karena sulit memasangnya. Hasilnya selalu miring dan mudah terlepas. Saya coba telepon toko asesoris, mereka yakin tidak ada yang salah dan menganjurkan saya untuk membawa Vespa ke tokonya di Otista untuk dikerjakan oleh anak buahnya. 

Karena nomor polisi belum ada dan jarak Bintaro - Otista yang lumayan jauh, akhirnya saya browsing untu mencari alamat bengkel Vespa di daerah Bintaro. Setidaknya kalau masih di dalam bintaro tidak ada razia kendaraan bermotor sehingga saya bisa membawa si Vespa tanpa nomor polisi.

Akhirnya ketemu juga bengkelnya dan saya harus mengakui bahwa perkataan penjual asesoris bahwa pemasangannya mudah, tinggal plug and play, dan bahwa tidak ada yang salah dengan asesoris yang saya beli, ternyata memang benar adanya. Tidak lebih dari 20 menit, semua asesoris sudah terpasang dengan rapi dan ketika saya menanyakan berapa biaya yang harus saya bayar, ternyata biayanya hanya 70 ribu.

Sekarang si Vespa sudah keren. Setidaknya menurut saya dan saat ini justru saya yang masih bingung, mau dipakai kemana si Vespa ini. Moge matic yang sudah berumur hampir 6 tahun saja pemakaiannya belum lebih dari 2000 km dan bebek matic yang berumur 7 bulan, pemakaiannya baru sekitar 250 km. Tugas motor-motor ini memang hanya ke Indomart, Alfamart, beli rokok di warung dan beli makanan di gerbang kompleks. Mungkin saya harus mulai ikut touring motor ke luar kota supaya motor-motor ini terpakai.

26 March, 2015

Seoul, Korea Selatan

Jakarta to Seoul
Kali ini saya berkesempatan mengunjungi Korea, saat salah satu asosiasi TV kabel yaitu ICTA (Indonesia Cable TV Association) yang merupakan mitra kerjasama promosi kami, mendapat undangan untuk menghadiri pameran yang diselenggarakan oleh KCTA (Korea Cable TV Association) pada tanggal 10-12 Maret di Seoul. Karena perusahaan kami adalah perusahaan Korea, maka pengurus ICTA meminta kami untuk ikut berangkat ke Korea sebagai pendamping dan jadilah saya, yang selama ini menangani kerjasama antara Lejel dengan ICTA, berangkat mendampingi.

Hari Minggu 8 Maret 2015 pukul 21:00, rombongan kami berkumpul di Bandara Soekarno Hatta. Total berjumlah 50 orang, dan tepat pukul 23:45, kami bertolak ke Seoul menggunakan Asiana Airlines.


Incheon Airport


Setelah penerbangan selama kurang-lebih tujuh jam, kami mendarat di Incheon International Airport. Bandaranya besar, bagus dan bersih. Setelah selesai urusan Imigrasi, bagasi dan bea cukai, saya keluar dan disambut oleh spanduk selamat datang dari Korea Tourism Organization bagi rombongan kami dan ada juga yang sudah menunggu saya yaitu Herina, istri dari Mr. Son, salah satu Direktur di Lejel. Herina menunggu saya, karena saya membawa titipannya yang isinya antara lain sambal ABC, sambal Belibis dan emping belinjo. 

Incheon Airport Arrival Terminal
Sambil menunggu beberapa anggota rombongan yang masih belum keluar dan sebagian lagi masih sibuk ke toilet atau mengambil jaket tebal dari koper karena saat ini Korea sedang di penghujung musim dingin, saya menukarkan dolar Amerika saya dan kemudian keluar gedung terminal untuk merokok. Udara yang sangat dingin langsung menyambut saya. Jaket saya sudah cukup hangat, tetapi bagian wajah dan tangan bisa merasakan perbedaan suhu yang sangat besar. Semalam saya masih merasakan suhu 30°C di Jakarta dan tiba-tiba sekarang saya harus merasakan suhu -2°C.

Segera saya habiskan rokok dan masuk kembali ke gedung terminal untuk bergabung dengan anggota rombongan yang sudah bersiap-siap untuk berjalan ke bis yang akan kami gunakan selama di Seoul. Kami akan langsung berangkat menuju Nami Island, karena saat itu masih pukul 10 pagi, sehingga kami belum bisa check in di hotel tempat kami akan menginap.


Nami Island



Nami Island
Nami Island adalah sebuah pulau di tengah sungai Bukhangang. Diambil dari nama Jendral Nami yang terkenal pada masa pemerintahan Raja Sejo di era Dinasti Joseon, yang kemudian dimakamkan di Nami Island. Pulau ini menjadi terkenal karena merupakan lokasi pembuatan film drama Korea, dan yang paling terkenal adalah serial drama "Winter Sonata".

Setelah menikmati makan siang di salah satu restaurant di dekat dermaga penyeberangan, kami berjalan kaki menuju dermaga dan kemudian menyeberangi sungai dengan menggunakan kapal ferry kecil selama kurang lebih 10 menit.

Hampir 3 jam kami menghabiskan waktu untuk menjelajahi Nami Island. Mungkin karena masih akhir musim dingin, pulaunya jadi terlihat gersang. Rumput-rumput masih berwarna coklat, sebagian besar pohon-pohonnya masih gundul dan di beberapa selokan dan kolam, airnya dilapisi es tipis. Dinginnya udara dan kencangnya angin yang menerbangkan debu juga menyebabkan kurang nyamannya acara menjelajahi Nami Island.

Dari Nami Island, kami menempuh perjalanan sekitar 2 jam menuju Seoul. Rombongan kami sempat mampir terlebih dahulu untuk makan malam dengan menu khas Korea - Samgyetang, yaitu ayam rebus dengan ginseng dan di dalam perut ayam diisi nasi ketan. Setiap orang mendapatkan satu ekor ayam utuh. Setelah selesai makan malam, kami melanjutkan perjalanan dan hanya sekitar 15 menit kemudian kami tiba di hotel tempat kami akan menginap, Skypark Dongdaemun Hotel.


Kimchi Making Class & Wearing Hanbok


Kimchi making class & wearing Hanbok
Kimchi adalah salah satu makanan khas Korea, yang terbuat dari sawi putih, dilumuri bumbu seperti sambal dan di fermentasi. Rasanya asem segar dan selalu disediakan secara gratis di semua tempat makan yang kami kunjungi. Tidak hanya gratis, tetapi boleh tambah sepuasnya. Mereka percaya bahwa Kimchi memberi manfaat yang sangat baik bagi kesehatan.

Di hari ke dua di Seoul ini, kami berkesempatan untuk mengunjungi salah satu produsen Kimchi yang mengadakan kelas untuk belajar membuat Kimchi dan untuk lebih menarik minat peserta kelas membuat Kimchi, peserta diberikan kesempatan untuk berfoto dengan menggunakan busana tradisional Korea - Hanbok, setelah selesai belajar membuat Kimchi. Walaupun saya amat sangat mengerti bahwa saya tidak akan cocok mengenakan Hanbok, tetapi karena disediakan secara gratis, tidak saya sia-siakan kesempatan untuk mempermalukan diri sendiri ini. Lagipula, saya tidak sendirian, karena dari total 50 anggota rombongan, menurut saya tidak lebih dari 5 orang yang rada cocok mengenakan Hanbok.


Seoul Tower


N Seoul Tower
Setelah pada pagi harinya mengikuti Kimchi Making Class dan siangnya mampir di Trick Eye Museum, sore itu kami berkesempatan mengunjungi Seoul Tower, dan sesuai info dari tour guide, kendaraan tidak bisa mencapai pelataran tower, sehingga kami harus berjalan dari tempat parkir bis menuju ke Seoul Tower.

Seoul Tower mulai dibangun pada tahun 1969 dan selesai pada tahun 1971 Seoul Tower, yang juga dikenal dengan nama Namsan Tower atau N Seoul Tower dengan tinggi 236,7 meter ini terletak di gunung Namsan dan baru dibuka untuk umum pada tahun 1980.

Turun dari bis, kami berjalan kaki atau tepatnya mendaki dengan tanjakan mencapai 45° untuk mencapai pelataran N Seoul Tower. Rasanya saya tidak mampu berkata-kata lagi pada saat akhirnya mencapai pelatarannya. Bukan karena kagum dengan pemandangannya yang memang indah dari sana, tetapi karena kehabisan nafas. Jangankan berbicara, bernafas secara teratur saja rasanya sulit sekali. Ikan bernafas dengan insang, Sapi bernafas dengan paru-paru dan saya bernafas dengan ngos-ngosan.

Setelah nafas mulai teratur, kami berjalan masuk ke gedung di kaki menara untuk selanjutnya naik lift menuju ke observatory deck, dimana kami bisa melihat pemandangan 360° di sekeliling menara setinggi total 479,7 meter dari permukaan laut apabila ditambah dengan ketinggian gunung Namsang tempat tower ini ini berada. Setelah puas melihat pemandangan, kami turun lagi menggunakan lift ke pantai dasar dan menyempatkan untuk berfoto di depan Love Padlock.

Love Padlock
Love Padlock adalah kumpulan gembok-gembok yang bersusun menyerupai pohon. Pada gembok-gembok itu tercantum nama dan bahkan ada yang ditempeli foto. Mereka percaya apabila mencantumkan nama orang yang dicintai pada gembok yang kemudian digantung di pohon itu serta membuang kuncinya, cintanya akan abadi dan selalu bersama. Saya sempat berpikir untuk membeli gembok di sana dan kemudian menuliskan nama anak-anak saya agar mereka selalu bersatu. Sambil berjalan menuju tempat berjualan gembok, saya ngobrol dengan tour guide dan bertanya apakah dia pernah memasang gembok di pohon-pohon itu. Dia mengatakan sudah memasang 3 gembok di sana. "Berarti pacar kamu ada tiga?" tanya saya. Dengan entengnya dia menjawab "Tidak pak. Punya pacar, pasang gembok, kemudian putus. Dapat pacar lagi, pasang lagi, putus lagi. Setelah itu dapat lagi kemudian pasang lagi dan putus lagi. Sekarang saya sedang tidak punya pacar". Mendengar jawabannya, saya tidak jadi membeli gembok dan memutuskan untuk berjalan turun menuju bis.


Korean Broadcasting System (KBS)


Korean Broadcasting System (KBS)
Salah satu agenda kami selama berada di Seoul adalah mengunjungi Korean Broadcasting System (KBS). KBS adalah lembaga penyiaran nasional Korea Selatan. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1927, dan mengoperasikan radio, televisi serta layanan online, dan menjadi salah satu jaringan televisi terbesar Korea Selatan. Kunjungan ke KBS ini menjadi acara utama di hari ke tiga kami di Seoul.

Di Gedung KBS, terdapat KBS Exhibition Hall yang merupakan museum pertama di Korea yang didedikasikan untuk sejarah dan evolusi industri penyiaran Korea. Pengunjung bisa melakukan tour dan menyaksikan serta mencoba produksi radio dan siaran televisi secara langsung dengan menggunakan peralatan yang disediakan di sana.

Tour di KBS kami mulai dari ruang utama di lantai dua dan terus ke lantai keempat dan kelima. Selain museum kecil, Studio Drama Radio, Sound Effect Instrument, 9 o'clock news corner, Hologram Corner, 3D TV Experience Corner dan Chroma Key Corner, kami juga mendapat kesempatan untuk mengamati proses produksi acara TV dan proses siaran serta program radio di studio penyiaran melalui jendela.


K-Pop Performance


Show Champion
Dalam perjalanan menuju tempat makan siang setelah selesai acara di KBS, tour guide kami mengatakan bahwa setelah makan malam, kami akan melihat acara K-Pop yang diadakan oleh salah satu channel TV di Seoul, yaitu MBC Music Channel. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik dan ingin kembali ke hotel saja. Namun banyak peserta rombongan yang meminta saya untuk ikut melihat acara itu, sehingga saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka.

Saat kami tiba, gedungnya sudah dipenuhi oleh ABG-ABG Seoul. Bukan cabe-cabean, tetapi kimchi-kimchian, menurut rekan-rekan peserta rombongan. Karena mendapatkan Tiket VIP, kami tidak perlu berdesak-desakan dengan para ABG, melainkan mendapat tempat duduk di balkon lantai 2. Pertunjukannya menarik, tata panggung dan tata lampunya sangat bagus. Performace Boyband dan Girlband nya juga bagus. Tidak rugi juga saya ikut saran rekan-rekan peserta rombongan untuk menonton pertunjukan ini, walaupun sebelum acara selesai, saya dan beberapa rekan memutuskan untuk keluar dan duduk di cafe yang ada di gedung itu, sambil merokok.


KCTA Exhibition


Exhibition @ Dongdaemun Design Plaza
Pada hari ke empat, kami menjalankan agenda utama kunjungan ke Seoul ini yaitu mengunjungi KCTA Exhibition, yang diselengarakan di Dongdaemun Design Plaza (dulunya adalah Dongdaemun Stadium, stadion Baseball dan sepakbola yang kemudian dipindahkan ke Gocheok-dong). Bentuk gedungnya futuristik, seperti pesawat luar angkasa di film-film Hollywood.

Pamerannya sendiri tidak terlalu besar, sedang-sedang saja dan bahkan terlalu kecil kalau dibandingkan dengan perjalanan kami ke Seoul untuk meyaksikannya. Tetapi pameran ini dibuat sangat menarik dengan adanya stand-stand dari operator televisi berbayar, programmer dan beberapa penyedia peralatan broadcast. Masing-masing stand menggelar berbagai games berhadiah yang mampu membuat pengunjung rela antre dengan tertib untuk mendapat kesempatan mencoba games-games itu dan mendapatkan hadiah. Ada juga stand yang mempromosikan program TV terbarunya dengan menghadirkan aktris dan aktor pemeran untuk membagikan souvenir dan memberikan tanda tangannya pada souvenir tersebut.


Hyundai HCN (HY Communications & Network) - MSO


Hyundai HCN
Setelah selesai mengunjungi KCTA Exhibition dan makan siang, saya dan rombongan yang adalah para pengusaha pemilik jaringan TV kabel lokal di daerah-daerah di Indonesia, mengunjungi Hyundai HCN, sebuah MSO (Multiple System Operator) yang salah satu kegiatan usahanya adalah sebagai operator TV berlangganan melalui jaringan Fiber Optik seperti halnya FirstMedia dan TV kabel milik para peserta rombongan di Indonesia. Jaringannya menjangkau 8 distrik dan kota di Korea Selatan dengan jumlah channel sebanyak 200 dan saat ini memiliki sedikitnya 1,3 juta pelanggan.

Setelah mendengarkan sedikit presentasi dan penjelasan dari manager yang sedang bertugas, kami dipersilakan untuk melihat-lihat studio penayangan dan peralatan mereka. Peralatan yang digunakan mengundang decak kagum rekan-rekan anggota ICTA. Selain alat-alatnya yang tergolong canggih bila dibandingkan dengan peralatan milik sebagian besar operator tv kabel lokal di Indonesia, kerapian dan kebersihan studio penayangan dan peralatan penyiaran ini patut diacungi jempol.


Gyeongbok Palace &  The National Folk Museum of Korea

Hari terakhir di Seoul, sebelum besok sore kembali ke Jakarta, rombongan kami menyempatkan untuk mengunjungi istana raja Korea - Gyeongbok Palace dan National Folk Museum of Korea, yang berada di dalam satu area. Perjalanan dari hotel tidak memakan waktu lama, hanya berkisar 30 menit, dan kami juga melewati istana presiden Korea Selatan - The Blue House.

Gyeongbok Palace


Gyeongbokgung
Gyeongbok Palace atau biasa disebut juga Gyeongbokgung Palace, adalah istana kerajaan pada jaman dinasti Joseon, yang dibangun pada tahun 1395 dan terletak di bagian utara kota Seoul, Korea Selatan. Istana ini adalah yang terbesar diantara lima Istana Besar lainnya yang dibangun oleh dinasti Joseon.

Istana ini hancur dilalap api saat terjadinya perang Imjin, dan dibiarkan selama dua abad sebelum akhirnya semua kamar sejumlah 7.700 dan sekitar 500 bangunan di lahan seluas lebih dari 40 hektar itu direstorasi oleh Pangeran Heungseon pada masa pemerintahan Raja Gojong.

Pada awal abad ke-20, sebagian besar istana secara sistematis dihancurkan oleh Kekaisaran Jepang. Setelah itu, secara bertahap, kompleks istana yang dikelilingi dinding tembok diperbaiki dan dikembalikan ke bentuk aslinya.


The National Folk Museum of Korea


The National Folk Museum of Korea
The National Folk Museum of Korea adalah museum nasional Korea Selatan yang terletak di area Gyeongbokgung Palace. Museum ini memiliki tiga ruang pameran utama yang menceritakan kehidupan tradisional sehari-hari rakyat Korea dalam bentuk diorama dan menyimpan lebih dari 98.000 artefak.

Ruang pameran yang pertama adalah "History of Korean People", yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di Korea mulai jaman prasejarah hingga saat ini, lalu ruang pameran berikutnya adalah "The Korean Way of Life", yang menggambarkan kehidupan penduduk desa di Korea di jaman kuno dan berbagai aspek kehidupan sehari-hari warga selama empat musim, yang dimulai dengan musim semi dan ruang pameran ke tiga adalah "Life Cycle of the Koreans", yang menggambarkan dalamnya akar Confucianism dalam budaya Korea dan bagaimana ideologi ini turut memunculkan sebagian besar adat dan budaya.


Korea Golf Show


Korea Golf Show 2015
Salah seorang Direktur di Lejel Group yang saat itu juga sedang berada di Seoul - Mr. Lee Ju Hyeoung memberikan informasi yang sangat menarik kepada saya, bahwa saat ini sedang ada pameran Golf yang diselenggarakan di COEX Convention and Exhibition Center. Seperti halnya saya, Mr. Lee juga penggemar Golf dan kami memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari rombongan yang saat itu sedang berada di Myeongdong setelah sebelumnya "meracuni" salah seorang peserta yang lain, Bapak Rahman Halid, yang juga penggemar golf, untuk ikut bersama-sama ke pameran golf tersebut.

Perjalanan dari Myeongdong ke lokasi pameran di COEX Convention and Exhibition Center ternyata cukup jauh dan ada kemacetan di beberapa ruas jalan. Hampir satu jam kami bertiga menghabiskan waktu di dalam taxi. Tetapi semuanya terbayar setelah kami melihat pameran tersebut, yang ternyata memang pameran besar dan banyak merek-merek terkenal seperti Honma, Bridgestone Golf, Nike< Callaway, Taylormade, dll yang membuka stand dimana kami bisa melihat dan mencoba produk-produk baru mereka di mini driving range yang masing-masing merek menyediakan 4-5 line. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari tidak berkeringat, saya bercucuran keringat setelah mencoba bermacam-macam stick golf keluaran baru.

Soccty Cameron Putter Cover
Banyak juga toko-toko alat golf yang membuka stand dan memberikan harga khusus dari mulai stick golf, tas, sepatu dan asesoris-asesoris lainnya. Benar-benar harus kuat iman.

Saya sempat ingin membeli satu set Iron yang kebetulan harganya cukup miring dibandingkan Jakarta, tetapi niat itu saya urungkan mengingat kami berencana untuk kembali ke hotel menggunakan subway, yang tentunya akan mereepotkan kalau sambil menggendong satu set stick golf.

Untuk pelipur lara, akhirnya saya membeli custom putter cover untuk Scotty Cameron Putter saya yang kebetulan sudah lama mencari di Jakarta tetapi belum menemukan yang harganya wajar, sementara kalau lewat eBay, harganya makin mahal terkena ongkos kirim dan pajaknya.


SMTOWN


SMTOWN @ Coex Atrium
Selesai melihat pameran golf, saat berjalan menuju stasiun subway, kami melewati SMTOWN yang berlokasi di COEX Mall. Selagi sudah di depannya, kami memutuskan untuk masuk dan melihat SMTOWN, yang sebenarnya adalah sebuah nama yang digunakan bagi kumpulan group music dan artis-artis penanyi yang bernaung di bawah bendera SM Entertainment. SM Entertainment mempunyai usaha di bidang label rekaman, talent agency, produksi film dan music, event management dan music publishing. Artis-artis yang bernaung di bawah bendera SM Entertainment diantaranya adalah Super Junior, Girls' Generation, SHINee, EXO, BoA, dan Kyuhyun.

Di dalam The SMTOWN@coexatrium ini terdapat SMTOWN Studio. SMTOWN LIVErary CAFÉ, SMTOWN Theatre dan juga menjual merchandise artis-artis, boyband dan girlband. Bagi saya, tidak ada yang menarik untuk dibeli. Mungkin karena saya  dan Mr. Lee sudah melewati batas umur sebagai fans boyband dan girlband Korea. Hanya Pak Rahman yang membeli paket DVD untuk putrinya yang fans K-Pop.


Dongdaemun, Myeongdong, Insadong dan Garosu Gil


Shopping
Shopping? Saya paling suka shopping dan selagi di Seoul, saya sempatkan untuk mengunjungi tempat shopping yang terkenal, yaitu Dongdaemun, Myeongdong, Insadong dan Garosu Gil. Intinya tetap sama, yaitu shopping. Tetapi atmosphere-nya berbeda. Dongdaemun terdiri dari toko-toko di dalam beberapa mall yang bersebelahan, Myeongdong terdiri dari deretan banyak toko-toko seperti pasar baru di Jakarta atau Pitt St. Mall di Sydney, sementara Insadong mengigatkan saya pada deretan toko-toko di jalan raya legian serta Kuta Square, dan Garosu Gil adalah deretan toko-toko yang kebanyakan adalah boutique lokal dan boutique dari merek-merek dunia.

Saya sempatkan shopping dan membeli oleh-oleh di Dongdaemun, Myeongdong dan Insadsong, tetapi tidak ada yang saya beli di Garosu Gil karena harganya yang lumayan mahal dan karena merek-merek tersebut bisa dengan mudah didapat di Jakarta atau Singapore dengan harga yang lebih murah.


Suhu Udara

Suhu udara selama 6 hari
Hal yang paling tidak menyenangkan selama kami berada di Seoul adalah suhu udara yang terlalu dingin untuk kami yang terbiasa hidup di daerah tropis dengan suhu rata-rata Jakarta yang berkisar 27°C hingga 32°C. Saya pernah tinggal beberapa tahun di Sydney, tetapi suhu minimum di musim dingin adalah 7°C sedangkan selama 6 hari di Seoul, kami sempat merasakan suhu hingga -6°C dan suhu terhangat adalah 6°C. Lain lagi cerita di kamar hotel, karena saya selalu memasang heater dengan suhu 28°C. Keuntungan udara dingin adalah kami tidak berkeringat, sehingga baju dapat dipakai 2 hingga 3 hari, tetapi kerugiannya adalah seolah kami hanya pergi ke Seoul selama 1 hari, karena semua foto selalu menggunakan tampilan baju yang sama - jaket tebal, scarf dan beannie hat.


Kembali ke Jakarta


Seoul to Jakarta
Tidak terasa sudah enam hari kami berada di Seoul dan akan segera kembali ke Jakarta. Satu lagi Business Trip sudah saya lakukan. Bertambah lagi pengalaman dan pelajaran baru bagi saya. Kunjungan ke Seoul ini membuat saya kagum, bagaimana bangsa ini, yang merdeka dari penjajahan Jepang hanya 2 hari sebelum bangsa kita, tepatnya tanggal 15 Agustus 1945 dan sempat menjadi negara miskin karena tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti kita, saat ini sudah menjadi negara maju dan kaya, yang produk-produknya baik elektronik maupun otomotif sudah bisa "berbicara" di kelas dunia.

Start di garis yang sama dengan mereka, dengan modal yang jauh lebih banyak berupa kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi mengapa kita bisa tertinggal dari mereka? Samsung, LG, Hyundai, KIA hanyalah sebagian merek dari produk yang berasal dari Korea Selatan. Apakah kita sudah punya merek dan produk yang setidaknya hampir sekelas itu? Kita yang terlalu lambat atau mereka yang terlalu cepat? Ada perbedaan yang tipis antara realitas dan pesimistis pada diri saya, bahwa 20 tahun lagi, belum tentu kita dapat menyamai capaian mereka saat ini.

21 December, 2014

Mamuju

Mamuju, Sulawesi Barat. Propinsi paling muda di Sulawesi, pemekaran wilayah dari Sulawesi Selatan, adalah tujuan saya berikutnya.

Ini adalah kunjungan saya untuk pertama kalinya ke Mamuju. Sebenarnya dua tahun yang lalu, saya sudah sempat berencana untuk mengunjungi Mamuju. Tetapi saat itu hanya ada satu kali penerbangan pulang-pergi dari Makassar ke Mamuju dalam satu hari dengan menggunakan Wings Air, itupun hanya dua kali dalam seminggu, sehingga saya harus tinggal di Mamuju lebih lama dari kebutuhan saya.

Bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Barat
Setelah saat ini ada dua kali penerbangan dari Makassar ke Mamuju, satu penerbangan dengan Garuda dan satu penerbangan dengan Wings per harinya, barulah saya bisa mengunjungi Mamuju untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan perencanaan pembukaan cabang Lejel Home Shopping di Mamuju.

Karena tidak ada penerbangan langsung ke Mamuju dari Jakarta, saya harus pindah pesawat di Makassar untuk selanjutnya menuju Mamuju. Tetapi nampaknya nasib saya kurang baik dalam business trip kali ini karena cuaca yang tidak bersahabat. Di Makassar saya harus menikmati delay selama hampir empat jam. Bila ditambah dengan jeda waktu antar penerbangan yang sekitar tiga jam apabila kondisi normal, maka saya "terjebak" di Makassar selama hampir tujuh jam.

Saya sempat berencana untuk keluar dari Bandara dan melewatkan waktu di kota Makassar. Jalan-jalan di Mall tentunya akan amat sangat menyenangkan bila dibandingkan dengan menunggu di Bandara. Tetapi saya harus mengurungkan niat untuk ke kota Makassar karena teringat berita beberapa hari terakhir tentang maraknya demo mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Daripada saya tidak bisa kembali ke bandara apabila ternyata ada demo dan terjebak, lebih baik saya tetap tinggal di Bandara.

Jadilah saya menghabiskan waktu selama hampir tujuh jam di Executive Lounge Garuda Indonesia. Saya yakin petugas-petugasnya sudah sampai bosan melihat saya di lounge, sebentar-sebentar hilir mudik iseng mengambil makanan kecil dan minuman.

Setelah pada akhirnya boarding call terdengar dan mengalami penerbangan yang beberapa kali terguncang cukup lumayan, sayapun mendarat di kota Mamuju dengan total waktu perjalanan dari Jakarta selama kurang-lebih 10,5 jam atau hampir setara dengan penerbangan dari Denpasar ke Sydney pulang pergi.

Selat Makassar, dari kamar hotel D'Maleo
Setibanya di D'Maleo Hotel Mamuju sekitar pukul 7 malam, baru badan ini terasa lelah sekali. Tetapi saya belum bisa beristirahat karena sudah ada janji untuk makan malam dengan teman-teman media lokal dan karena awalnya kami berencana untuk meeting siang harinya (yang terpaksa dibatalkan karena pesawat mengalami delay), jadilah acara makan malam dilanjutkan dengan meeting kecil sampai jam setengah sebelas malam.

Karena terlalu lelah, malam itu saya tidur tanpa mimpi sama sekali dan bangun cukup pagi untuk meeting lagi pada pukul 9 dan dilanjutkan dengan survey lokasi sampai jam 4 sore. Setelah beristirahat sejenak dan shower, saya masih ada acara makan malam dengan teman media yang lain dan disambung dengan meeting lagi sampai jam sepuluh malam.

Menurut saya, kota Mamuju cenderung sepi dan tidak dinamis. Bahkan belum ada pusat perbelanjaan yang representatif mengingat ini adalah ibukota propinsi. Nampaknya terlalu dipaksakan untuk pemekaran dan menjadi ibukota propinsi. Tetapi itu urusan politik dan perut bagi sebagian orang di sini. Urusan saya adalah bagaimana caranya Lejel Home Shopping bisa berjualan dan produknya laris manis.

Keesokan harinya, kembali saya harus bangun pagi karena ada meeting lagi pukul 9 dan dilanjut dengan perjalanan ke bandara untuk terbang ke Makassar dan kemudian akan dilanjutkan dengan penerbangan ke Jakarta.

Lagi-lagi saya harus menikmati delay selama 2 jam di Mamuju karena faktor cuaca dan tambahan delay lagi selama 3,5 di Makassar karena lagi-lagi faktor cuaca. Amat sangat menjengkelkan, tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa karena kita berhadapan dengan alam. Setidaknya secara total waktu masih 1,5 jam lebih cepat dibandingkan pada saat saya berangkat.

Jember

Kali ini saya berkesempatan untuk pergi ke Jember, sebuah kota di Jawa Timur, untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan mempelajari kemungkinan membuka cabang Lejel Home Shopping.

Bandara Juanda, Surabaya
Perjalanan ke Jember saya awali dengan penerbangan paling pagi ke Surabaya, berangkat pukul 05:30 dari Jakarta, kemudian disambung dengan penerbangan pukul 07:50 dari Surabaya ke Jember.

Saya memilih untuk naik pesawat ke Jember karena apabila menggunakan mobil dari Surabaya akan memakan waktu sedikitnya 3,5 jam. Dengan pesawat hanya membutuhkan waktu 35 menit saja.

Setelah mendarat, sebelum turun dari pesawat, terlihat bandara Jember yang mungil dan bentuknya tidak seperti bandara pada umumnya. Lebih menyerupai rumah-rumah jaman Belanda dan fasilitas bandaranya sederhana. Jangankan garbarata, conveyor belt untuk bagasi pun tidak tersedia. Bagasi diserahkan melalui semacam jendela dari luar, mengingatkan saya pada bandara Domine Eduard Osok di Sorong yang pernah saya kunjungi dan sudah saya tuliskan sebelumnya.

Bandara Notohadinegoro, Jember
Bandara Notohadinegoro Jember, saat ini hanya melayani penerbangan Garuda dari dan ke Surabaya, masing-masing satu kali penerbangan dari Surabaya dan satu kali penerbangan ke Surabaya per harinya.

Kota Jember cukup menarik. Kecil, simpel, tenang, tetapi komplit. Harga makanan cukup, bahkan beberapa sangat murah bagi saya yang sehari-harinya hidup di Jakarta. Bahkan harga makanan di hotel tempat saya menginap - Aston Jember, yang notabene adalah hotel berbintang, masih lebih murah dibandingkan harga makanan di Bellezza, gedung kantor tempat saya bekerja. Tetapi yang paling penting, rasa masakannya sangat cocok bagi lidah saya yang memang lahir dan besar di Jawa Timur.

Tiga hari dua malam saya lewatkan di Jember, menuntaskan tugas untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan melakukan beberapa survey kecil-kecilan sebelum saya terbang lagi ke Surabaya dan dilanjutkan dengan penerbangan kembali ke Jakarta.

31 October, 2014

Business Trip Kalimantan

Setelah beristirahat selama kurang lebih 3 bulan, tiba waktunya untuk melakukan Business Trip lagi. Kali ini tujuannya adalah beberapa kota, yaitu Balikpapan, Tenggarong, Samarinda, Bontang, Banjarmasin dan Palangkaraya.

Balikpapan

Setelah mendarat di Balikpapan, saya langsung berangkat menuju Tenggarong dengan menggunakan mobil, ditemani oleh pemilik salah satu TV Kabel lokal di Balikpapan. Perjalanannya sama dengan ke Samarinda.

Di tengah perjalanan kami sempatkan untuk makan siang di Rumah Makan Sumedang. Jauh-jauh ke Kalimantan, nama rumah makannya Sumedang dan salah satu hidangan andalannya adalah Tahu Goreng Sumedang.

Tenggarong

Menunggu perahu, Tenggarong, Kalimantan Timur
Sebelum memasuki Samarinda kami keluar dari jalan utama dan mengambil arah menuju Tenggarong. Walaupun sisa jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi perjalanan sangat tidak lancar karena sedang ada perbaikan jalan. Beberapa kali kami harus berhenti menunggu kendaraan dari arah depan, bergantian menggunakan jalan karena separuh jalannya sedang diperbaiki. Kadang sebelah kiri dan kadang sebelah kanan perbaikannya. Setelah melewati ruas yang sedang diperbaiki, sisa perjalanan harus melewati jalanan yang rusak cukup parah, di sepanjang sisi Sungai Mahakam.

Meeting dengan media lokal di Tenggarong berjalan dengan lancar dan sekarang saatnya kami melanjutkan perjalanan ke Samarinda untuk meeting dengan media setempat. Kami tidak melewati jalan yang tadi kami lalui, tetapi kami akan menyeberangi sungai Mahakam dengan menggunakan ferry untuk menuju ke Samarinda.

Melintasi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur
Sejak robohnya jembatan Kutai Kartanegara beberapa waktu lalu yang sampai menelan korban jiwa dan saat ini sedang dalam perbaikan, perjalanan dari Tenggarong ke Samarinda dan sebaliknya harus menggunakan ferry atau melewati jalan rusak yang kami lalui tadi, dengan konsekuensi memakan waktu yang lebih lama.

Sesampainya di tempat penyeberangan, barulah saya melihat bahwa yang dikatakan ferry oleh rekan saya tersebut, ternyata adalah perahu kayu model LST dengan kapasitas 3 mobil. "Wah!? Kenapa jadi begini ceritanya?" batin saya. Dengan model perahu seperti ini, bisa dipastikan faktor keselamatan tidak akan terperhatikan. Secara reflek, saya mulai memasukkan Blackberry, Android, iPhone, iPad dan dompet saya ke dalam tas plastik bekas belanja di Alfamart sebelum memasukkannya ke dalam backpack. Saya bisa berenang. Lumayan jago malahan. Tetapi smartphone dan tablet khan tidak bisa berenang.

Perahu penyeberangan di Sungai Mahakam
Penyeberangan berjalan dengan lancar dan aman selama lebih kurang lima belas menit tanpa informasi mengenai prosedur keselamatan apabila terjadi kondisi darurat. What do you expect anyway? A life vest demo from cabin attendant? They don't have life vest, nor cabin attendant.

Turun dari perahu. Ya, saya yakin itu perahu dan bukannya ferry, kami melanjutkan perjalanan ke Samarinda dan langsung meeting dengan media setempat setibanya kami di sana, dan dilanjutkan dengan makan malam.

Samarinda

Selesai meeting dan makan malam dengan media lokal di Samarinda, kami merubah rencana yang semula akan bermalam di Samarinda, menjadi bermalam di Bontang. Pertimbangannya adalah daripada besok pagi-pagi kami harus berangkat ke Bontang, lebih baik malam ini saja sekaligus ke Bontang karena masih jam delapan malam, sehingga sekitar tengah malam kami akan tiba di Bontang. Sekalian saja capeknya.

Cafe Singapura, Bontang

Bontang

Pukul setengah satu malam, kami tiba di Bontang dan langsung check-in di hotel yang di rekomendasikan oleh rekan media. Kamarnya masih baru, dan room rate-nya cukup membuat kejutan karena kamar suite room yang sudah dipesankan terlebih dahulu oleh media di bontang ternyata hanya 255.000 rupiah per malam. Kejutan dua kali karena saat pertama saya melihat receiptnya sedang dibawa oleh receptionist, sekilas terbaca dua juta sekian, tetapi setelah saya teliti ternyata hanya 255.000 rupiah.

Setelah menyelesaikan meeting dan survey, kami makan siang dan dilanjutkan dengan menikmati kopi di Cafe Singapura. Bukan hanya namanya Singapura, tetapi pemilik cafe ini membangun patung merlion dengan ukuran besar, kurang lebih sama dengan patung aslinya di Singapura.

Kutai Kartanegara

Tugu Equator, Santa Ulu, Kutai Kartanegara
Dalam perjalanan kembali ke Balikpapan, kami menyempatkan untuk singgah di Tugu Equator, yang terletak di Santan Ulu, Kutai Kartanegara. Seperti hal-nya Tugu Khatulistiwa di Pontianak yang juga sudah saya kunjungi dan saya tuliskan pada entry sebelumnya, tugu equator ini sebagai penanda garis lintang 0° yang membagi bumi menjadi 2 bagian belahan - Utara dan Selatan.

Sayangnya, berbeda dengan tugu khatulistiwa di Pontianak yang terawat rapi dan ada penjaganya, di tugu khatulistiwa ini tidak ada penjaganya. kami hanya bisa berfoto di depannya, tetapi pintu masuk ke gedungnya dalam kondisi di gembok. Di halaman dan jalan setapaknya pun banyak berserakan daun kering.

Balikpapan

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih delapan jam dari Bontang, dengan diselingi istirahat dan minum kopi di Samarinda, tibalah kami kembali di Balikpapan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam saat saya memasuki hotel. Capeknya jangan ditanya lagi, sehingga saya bahkan langsung tertidur tanpa sempat membersihkan badan dan ganti pakaian.

Pagi harinya setelah breakfast, kami menyelesaikan dua meeting dan survey ke media lokal sebelum menuju bandara untuk terbang ke Banjarmasin. Ada dua jadual meeting di Banjarmasin, malam ini dan besok pagi.

Banjarmasin

Pukul delapan malam, saya mendarat di Banjarmasin dan disambut asap dari hasil kebakaran hutan saat keluar dari pintu pesawat.

Saya dijemput oleh rekan media di Bandara. Setelah singgah sebentar untuk makan malam, kami menuju hotel untuk membicarakan lebih detail kerjasama antara Lejel dengan media tersebut.

keesokan paginya, saya meeting dengan media lokal yang lain dan setelah itu saya berangkat menuju Palangkaraya dengan menggunakan mobil.

Palangkaraya

Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
Setelah sempat singgah di Kuala Kapuas untuk makan siang, akhirnya perjalanan darat selama 4 jam ini berakhir. Kami memasuki kota Palangkaraya yang berasap. Sepanjang perjalanan Banjarmasin - Palangkaraya tadi, kami beberapa kali melewati beberapa area yang sedang terbakar, lengkap dengan anggota TNI yang berusaha memadamkan kebakaran. Kondisi jalannya berkabut asap.

Bau asap cukup menyesakkan nafas, juga terasa pada saat saya sudah di area lobby hotel untuk check-in. Asapnya masuk lobby, dan ternyata asap itu juga masuk kamar. Awalnya saya berniat complain karena bau asap di kamar, tetapi mau bagaimana lagi karena kotanya memang sedang berasap cukup tebal.
Reception hotel berbaik hati memberi masker sehingga saya bisa bernafas lebih baik, walaupun juga tetap tidak nyaman. Terlebih lagi saat siang itu saya dan rekan media setempat harus meeting sambil menggunakan masker.

Kebakaran lahan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Malam harinya asap mereda, sehingga meeting dan acara makan malam bisa berjalan lebih lancar. Sudah selesai dua meeting di kota ini, tinggal satu meeting lagi besok siang, sebelum kembali ke Jakarta.

Keesokan paginya, sambil menunggu jadual meeting, saya menghabiskan waktu di kamar hotel untuk membuat laporan. Rencananya saya akan turun jam 12 siang, check-out dari hotel, kemudian meeting dengan satu lagi media lokal dan berangkat ke bandara. Tetapi baru menunjukkan jam 11, saya merasa pusing dan mual seperti mabok laut. Saya segera menyadari bahwa saya mulai keracunan asap yang masuk ke kamar. Saya melihat dari jendela kamar hotel, di luar memang asap terlihat cukup tebal.

Saya memutuskan untuk turun dan check-out saat itu juga, kemudian menunggu kedatangan media lokal sambil duduk di lobby. Walaupun ada asap juga, tetapi setidaknya sirkulasi udaranya lebih baik.

Palangkaraya berasap, dari jendela kamar hotel
Setelah selesai meeting dan tiba di bandara, masih ada masalah baru. Pesawat dipastikan akan delay, karena tebalnya asap sehingga pesawat dari Jakarta yang akan saya gunakan pukul 17:20, belum bisa dipastikan apakah bisa mendarat. Bahkan pesawat yang seharusnya tiba tadi pagi pun belum berangkat dari Jakarta hingga sore ini. Ditambah lagi info bahwa kemarin, pesawat yang seharusnya mendarat sekitar pukul lima sore kurang, baru mendarat pada pukul 10 malam.

Kekhawatiran dan ketidakpastian itu langsung hilang setelah pada pukul tujuh malam, pesawat dari Jakarta yang sedianya untuk penerbangan pagi akhirnya mendarat dan 10 menit kemudian, pesawat yang akan membawa saya juga mendarat.

Selesai sudah perjalanan dinas yang padat dan melelahkan ini, saatnya saya kembali bekerja dengan normal di kantor untuk beberapa minggu sebelum menjalani perjalanan dinas lagi.

14 August, 2014

Sin Jung Ho

Rest In Peace, my dear friend..
John. Demikian kami biasa memanggil teman Korea yang satu ini. Nama aslinya adalah Sin Jung Ho. Dia sudah lama tinggal di Indonesia, menyelesaikan SMP atau SMA (saya sedikit lupa) di Bandung. Maka tidak heran kalau bahasa Indonesia nya sudah lancar, termasuk slank, aksen dan bahasa gaul.

Makassar, Sulawesi Selatan
Saya pertama kali mengenal John pada tahun 2007, saat saya masih bekerja di salah satu TV lokal milik Jawa Pos Group. John sendiri saat itu bekerja di Lejel Home Shopping, tempat kerja saya sekarang. Awalnya John bermaksud menayangkan iklan Lejel Home Shopping di TV tempat saya bekerja. Tetapi di tengah masa negosiasi, John mengundurkan diri dari Lejel dan pindah ke Livio Home Shopping. Perundingan dilanjutkan, kali ini untuk menayangkan iklan Livio Shopping.

Pertemanan saya dengan John menjadi akrab karena kerjasama ini, dan kami tidak hanya bertemu sebagai Media dan Client, tetapi juga sebagai teman. Kami sering melewatkan waktu bersama dengan beberapa teman media lain yang saya kenalkan kepada John dan akhirnya menayangkan iklan Livio Shopping di Media mereka. Cafe, restaurant, dan karaoke adalah tempat kami nongkrong bersama hampir setiap hari.

Batam, Kepulauan Riau
Pertemanan menjadi persahabatan, dan persahabatan kami menjadi semakin erat  saat pada akhirnya John mengundurkan diri dari Livio Shopping untuk kembali bekerja di Lejel Home Shopping dan saya juga mengundurkan diri dari TV lokal tempat saya bekerja, kemudian bergabung dengan Lejel Home Shopping. Jadilah kami bekerja di satu kantor.

Seperti pernah saya ceritakan pada beberap entry sebelumnya, saya dan John sangat sering bepergian berdua untuk Business Trip. Aceh, Medan, Batam, Tanjung Pinang, Pekanbaru dan ibukota-ibukota propinsi lainnya di Indonesia. Kami berdua ingin bisa mengunjungi semua ibukota propinsi. Itu sebabnya foto-foto di setiap kota yang saya tampilkan pada blog ini, posenya sebisa mungkin di depan papan nama bandara. Sayangnya John belum sempat menuntaskan cita-citanya. Masih kurang beberapa ibukota lagi, yaitu  Palembang, Bengkulu, Lampung, Pontianak, Mamuju, Ambon, Ternate, Sorong dan Jayapura, tetapi nasib berkata lain.

Jakarta
Saya masih ingat sore itu, bulan Pebruari 2012. John datang kepada saya dan mengatakan bahwa dia harus membatalkan jadual business trip-nya dengan saya ke Kendari dan Jogja, dimana kami seharusnya berangkat keesokan harinya, karena ada tamu dari Korea dan dia harus menemani tamu tersebut. Tidak menjadi masalah bagi saya untuk berangkat sendiri, karena perubahan rencana seperti ini bukan baru pertama kalinya terjadi.

Malamnya, saat akan pulang, saya sempat bertemu John di Lobby lantai dasar dan saya menanyakan, apakah dia tidak titip salam untuk Mr. Helmet (kisah tentang Mr. Helmet pernah saya post-kan sebelumnya dengan judul "Kendari"). John menjawab "Bilangin Mr. Helmet, ada salam dari John. Kapan-kapan kita janjian ketemu".

Tomohon, Sulawesi Utara
Ternyata itu adalah obrolan terakhir saya dengan John. Saya mendapat kabar bahwa John meninggal dunia, saat saya transit di Makassar, dalam perjalanan dari Kendari menuju Jogja. Saya sempat bermaksud membatalkan perjalanan ke Jogja untuk kemudian langsung ke Jakarta, tetapi teman-teman media dari Purwokerto, Solo, Semarang, Cilacap dan beberapa kota lain, sudah berkumpul di Jogja. Tidak enak membatalkannya karena saya yang mengundang mereka ke Jogja.

Saya putuskan untuk tetap ke Jogja dan akan mempersingkat kunjungan dari rencana semula 2 malam, menjadi 1 malam agar saya bisa melayat John. Tetapi rencana saya tidak berhasil. Setelah rangkaian meeting selesai, saya tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat. Apabila naik kereta api atau bus, nanti setibanya di Jakarta, prosesi John juga sudah selesai. Akhirnya saya kembali ke Jakarta sesuai jadual business trip. Saya yakin John tahu dan akan memaklumi saya tidak bisa hadir.

Terlalu banyak kenangan sebagai sahabat. Sudah lengkap rasanya. Tertawa bersama, mabuk bersama bahkan berselisih paham dan bermusuhan walaupun untuk sementara. Selamat Jalan Sahabat..

13 August, 2014

Golf

Untuk menjaga kesehatan dan supaya tetap fit, tentu saja olah raga adalah salah satu resep penting dan bagi saya, olah raga adalah salah satu dari sangat sedikitnya hal sehat yang saya lakukan.

Golf dengan anak saya Tevin (kiri) dan Levin (tengah)
Saya merokok, minum kopi kurang lebih 6-8 cup per hari, minum minuman beralkohol pada saat entertain dengan mitra kerja, saya juga tidak pernah membatasi makanan berkolesterol tinggi, setiap malam mulai tidur paling cepat pukul 3 dini hari (kecuali sedang sakit), makan tidak pernah tepat waktu, dan saya paling tidak suka minum vitamin. Padahal saya pernah kena serangan jantung ringan pada tahun 2010.

Golf adalah olah raga pilihan saya. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih golf, diantaranya adalah sambil golf, saya bisa menikmati hijaunya rumput dan pepohonan di lapangan dan udara segarnya. Saya tidak memilih olah raga bersepeda yang sedang marak saat ini, karena menurut saya agak kurang sehat kalau olah raga sambil menghirup asap knalpot.


Banyak yang beranggapan bahwa golf adalah olah raga mahal. Olah raganya orang kaya. Saya kurang setuju dengan anggapan ini. Memang mungkin tidak murah, tetapi juga tidak selalu mahal jika dibandingkan dengan olah raga lain. Tergantung kita sendiri, mau menjadikannya mahal atau tidak.

Sebagai contohnya, peralatan golf satu set ada yang harganya puluhan juta, bahkan ratusan juta untuk merek dan jenis tertentu, misalnya edisi khusus, terbatas dan lain-lain. Tetapi ada juga peralatan golf untuk pemula yang harga satu set sekitar 3 juta. Peralatan bekas bahkan ada yang harga satu set di kisaran 1,5 sampai 2 juta. Bandingkan dengan hobby bersepeda, harga sepeda juga tidak berbeda jauh dengan harga stick golf bukan?

Saya sendiri memilih untuk menggunakan stick golf yang tidak satu merek dalam satu bag. Driver dan Hybrid dari Callaway, Fairway dari Cobra, Iron dari Bridgestone, Wedge saya pilih Cleveland dan Putter yang saya pilih adalah Scotty Cameron dari Titleist. Mereknya gado-gado, karena saya pilih yang paling cocok untuk saya dan hasilnya maksimal.

Biaya bermain golf juga bervariasi, ada lapangan golf bertarif lebih dari 1 juta untuk 18 holes, tapi ada juga lapangan golf bertarif 500 ribu dan bahkan 150 ribu untuk 18 holes. Lagi-lagi tergantung kita, mana yang kita pilih.

Untuk belajar dan berlatih golf pun tidak terlalu mahal. Berlatih di Driving Range biayanya berkisar 60 hingga 110 ribu per 100 bola. Apabila membutuhkan pelatih, biayanya antara 150 hingga 300 ribu per jam atau bisa mengambil paket sekitar 2 juta untuk 12 kali pertemuan. Jika dibandingkan dengan fitness menggunakan personal trainer, mana yang lebih mahal?

Ada juga yang mengatakan bahwa "Golf itu olah raga ringan". Coba saja pukul 100 bola di driving range. Kalau belum biasa, dijamin besok pagi bangun tidur pegal semua. Atau boleh juga main golf di lapangan, seperti saya yang selalu memilih berjalan kaki daripada menggunakan golf cart. Untuk 18 holes, total jaraknya sekitar 6,5 km, masih ditambah memukul sekitar 80-90 kali sambil berpanas-panas matahari.