14 August, 2014

Sin Jung Ho

Rest In Peace, my dear friend..
John. Demikian kami biasa memanggil teman Korea yang satu ini. Nama aslinya adalah Sin Jung Ho. Dia sudah lama tinggal di Indonesia, menyelesaikan SMP atau SMA (saya sedikit lupa) di Bandung. Maka tidak heran kalau bahasa Indonesia nya sudah lancar, termasuk slank, aksen dan bahasa gaul.

Makassar, Sulawesi Selatan
Saya pertama kali mengenal John pada tahun 2007, saat saya masih bekerja di salah satu TV lokal milik Jawa Pos Group. John sendiri saat itu bekerja di Lejel Home Shopping, tempat kerja saya sekarang. Awalnya John bermaksud menayangkan iklan Lejel Home Shopping di TV tempat saya bekerja. Tetapi di tengah masa negosiasi, John mengundurkan diri dari Lejel dan pindah ke Livio Home Shopping. Perundingan dilanjutkan, kali ini untuk menayangkan iklan Livio Shopping.

Pertemanan saya dengan John menjadi akrab karena kerjasama ini, dan kami tidak hanya bertemu sebagai Media dan Client, tetapi juga sebagai teman. Kami sering melewatkan waktu bersama dengan beberapa teman media lain yang saya kenalkan kepada John dan akhirnya menayangkan iklan Livio Shopping di Media mereka. Cafe, restaurant, dan karaoke adalah tempat kami nongkrong bersama hampir setiap hari.

Batam, Kepulauan Riau
Pertemanan menjadi persahabatan, dan persahabatan kami menjadi semakin erat  saat pada akhirnya John mengundurkan diri dari Livio Shopping untuk kembali bekerja di Lejel Home Shopping dan saya juga mengundurkan diri dari TV lokal tempat saya bekerja, kemudian bergabung dengan Lejel Home Shopping. Jadilah kami bekerja di satu kantor.

Seperti pernah saya ceritakan pada beberap entry sebelumnya, saya dan John sangat sering bepergian berdua untuk Business Trip. Aceh, Medan, Batam, Tanjung Pinang, Pekanbaru dan ibukota-ibukota propinsi lainnya di Indonesia. Kami berdua ingin bisa mengunjungi semua ibukota propinsi. Itu sebabnya foto-foto di setiap kota yang saya tampilkan pada blog ini, posenya sebisa mungkin di depan papan nama bandara. Sayangnya John belum sempat menuntaskan cita-citanya. Masih kurang beberapa ibukota lagi, yaitu  Palembang, Bengkulu, Lampung, Pontianak, Mamuju, Ambon, Ternate, Sorong dan Jayapura, tetapi nasib berkata lain.

Jakarta
Saya masih ingat sore itu, bulan Pebruari 2012. John datang kepada saya dan mengatakan bahwa dia harus membatalkan jadual business trip-nya dengan saya ke Kendari dan Jogja, dimana kami seharusnya berangkat keesokan harinya, karena ada tamu dari Korea dan dia harus menemani tamu tersebut. Tidak menjadi masalah bagi saya untuk berangkat sendiri, karena perubahan rencana seperti ini bukan baru pertama kalinya terjadi.

Malamnya, saat akan pulang, saya sempat bertemu John di Lobby lantai dasar dan saya menanyakan, apakah dia tidak titip salam untuk Mr. Helmet (kisah tentang Mr. Helmet pernah saya post-kan sebelumnya dengan judul "Kendari"). John menjawab "Bilangin Mr. Helmet, ada salam dari John. Kapan-kapan kita janjian ketemu".

Tomohon, Sulawesi Utara
Ternyata itu adalah obrolan terakhir saya dengan John. Saya mendapat kabar bahwa John meninggal dunia, saat saya transit di Makassar, dalam perjalanan dari Kendari menuju Jogja. Saya sempat bermaksud membatalkan perjalanan ke Jogja untuk kemudian langsung ke Jakarta, tetapi teman-teman media dari Purwokerto, Solo, Semarang, Cilacap dan beberapa kota lain, sudah berkumpul di Jogja. Tidak enak membatalkannya karena saya yang mengundang mereka ke Jogja.

Saya putuskan untuk tetap ke Jogja dan akan mempersingkat kunjungan dari rencana semula 2 malam, menjadi 1 malam agar saya bisa melayat John. Tetapi rencana saya tidak berhasil. Setelah rangkaian meeting selesai, saya tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat. Apabila naik kereta api atau bus, nanti setibanya di Jakarta, prosesi John juga sudah selesai. Akhirnya saya kembali ke Jakarta sesuai jadual business trip. Saya yakin John tahu dan akan memaklumi saya tidak bisa hadir.

Terlalu banyak kenangan sebagai sahabat. Sudah lengkap rasanya. Tertawa bersama, mabuk bersama bahkan berselisih paham dan bermusuhan walaupun untuk sementara. Selamat Jalan Sahabat..

13 August, 2014

Golf

Untuk menjaga kesehatan dan supaya tetap fit, tentu saja olah raga adalah salah satu resep penting dan bagi saya, olah raga adalah salah satu dari sangat sedikitnya hal sehat yang saya lakukan.

Golf dengan anak saya Tevin (kiri) dan Levin (tengah)
Saya merokok, minum kopi kurang lebih 6-8 cup per hari, minum minuman beralkohol pada saat entertain dengan mitra kerja, saya juga tidak pernah membatasi makanan berkolesterol tinggi, setiap malam mulai tidur paling cepat pukul 3 dini hari (kecuali sedang sakit), makan tidak pernah tepat waktu, dan saya paling tidak suka minum vitamin. Padahal saya pernah kena serangan jantung ringan pada tahun 2010.

Golf adalah olah raga pilihan saya. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih golf, diantaranya adalah sambil golf, saya bisa menikmati hijaunya rumput dan pepohonan di lapangan dan udara segarnya. Saya tidak memilih olah raga bersepeda yang sedang marak saat ini, karena menurut saya agak kurang sehat kalau olah raga sambil menghirup asap knalpot.


Banyak yang beranggapan bahwa golf adalah olah raga mahal. Olah raganya orang kaya. Saya kurang setuju dengan anggapan ini. Memang mungkin tidak murah, tetapi juga tidak selalu mahal jika dibandingkan dengan olah raga lain. Tergantung kita sendiri, mau menjadikannya mahal atau tidak.

Sebagai contohnya, peralatan golf satu set ada yang harganya puluhan juta, bahkan ratusan juta untuk merek dan jenis tertentu, misalnya edisi khusus, terbatas dan lain-lain. Tetapi ada juga peralatan golf untuk pemula yang harga satu set sekitar 3 juta. Peralatan bekas bahkan ada yang harga satu set di kisaran 1,5 sampai 2 juta. Bandingkan dengan hobby bersepeda, harga sepeda juga tidak berbeda jauh dengan harga stick golf bukan?

Saya sendiri memilih untuk menggunakan stick golf yang tidak satu merek dalam satu bag. Driver dan Hybrid dari Callaway, Fairway dari Cobra, Iron dari Bridgestone, Wedge saya pilih Cleveland dan Putter yang saya pilih adalah Scotty Cameron dari Titleist. Mereknya gado-gado, karena saya pilih yang paling cocok untuk saya dan hasilnya maksimal.

Biaya bermain golf juga bervariasi, ada lapangan golf bertarif lebih dari 1 juta untuk 18 holes, tapi ada juga lapangan golf bertarif 500 ribu dan bahkan 150 ribu untuk 18 holes. Lagi-lagi tergantung kita, mana yang kita pilih.

Untuk belajar dan berlatih golf pun tidak terlalu mahal. Berlatih di Driving Range biayanya berkisar 60 hingga 110 ribu per 100 bola. Apabila membutuhkan pelatih, biayanya antara 150 hingga 300 ribu per jam atau bisa mengambil paket sekitar 2 juta untuk 12 kali pertemuan. Jika dibandingkan dengan fitness menggunakan personal trainer, mana yang lebih mahal?

Ada juga yang mengatakan bahwa "Golf itu olah raga ringan". Coba saja pukul 100 bola di driving range. Kalau belum biasa, dijamin besok pagi bangun tidur pegal semua. Atau boleh juga main golf di lapangan, seperti saya yang selalu memilih berjalan kaki daripada menggunakan golf cart. Untuk 18 holes, total jaraknya sekitar 6,5 km, masih ditambah memukul sekitar 80-90 kali sambil berpanas-panas matahari.