21 December, 2014

Mamuju

Mamuju, Sulawesi Barat. Propinsi paling muda di Sulawesi, pemekaran wilayah dari Sulawesi Selatan, adalah tujuan saya berikutnya.

Ini adalah kunjungan saya untuk pertama kalinya ke Mamuju. Sebenarnya dua tahun yang lalu, saya sudah sempat berencana untuk mengunjungi Mamuju. Tetapi saat itu hanya ada satu kali penerbangan pulang-pergi dari Makassar ke Mamuju dalam satu hari dengan menggunakan Wings Air, itupun hanya dua kali dalam seminggu, sehingga saya harus tinggal di Mamuju lebih lama dari kebutuhan saya.

Bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Barat
Setelah saat ini ada dua kali penerbangan dari Makassar ke Mamuju, satu penerbangan dengan Garuda dan satu penerbangan dengan Wings per harinya, barulah saya bisa mengunjungi Mamuju untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan perencanaan pembukaan cabang Lejel Home Shopping di Mamuju.

Karena tidak ada penerbangan langsung ke Mamuju dari Jakarta, saya harus pindah pesawat di Makassar untuk selanjutnya menuju Mamuju. Tetapi nampaknya nasib saya kurang baik dalam business trip kali ini karena cuaca yang tidak bersahabat. Di Makassar saya harus menikmati delay selama hampir empat jam. Bila ditambah dengan jeda waktu antar penerbangan yang sekitar tiga jam apabila kondisi normal, maka saya "terjebak" di Makassar selama hampir tujuh jam.

Saya sempat berencana untuk keluar dari Bandara dan melewatkan waktu di kota Makassar. Jalan-jalan di Mall tentunya akan amat sangat menyenangkan bila dibandingkan dengan menunggu di Bandara. Tetapi saya harus mengurungkan niat untuk ke kota Makassar karena teringat berita beberapa hari terakhir tentang maraknya demo mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Daripada saya tidak bisa kembali ke bandara apabila ternyata ada demo dan terjebak, lebih baik saya tetap tinggal di Bandara.

Jadilah saya menghabiskan waktu selama hampir tujuh jam di Executive Lounge Garuda Indonesia. Saya yakin petugas-petugasnya sudah sampai bosan melihat saya di lounge, sebentar-sebentar hilir mudik iseng mengambil makanan kecil dan minuman.

Setelah pada akhirnya boarding call terdengar dan mengalami penerbangan yang beberapa kali terguncang cukup lumayan, sayapun mendarat di kota Mamuju dengan total waktu perjalanan dari Jakarta selama kurang-lebih 10,5 jam atau hampir setara dengan penerbangan dari Denpasar ke Sydney pulang pergi.

Selat Makassar, dari kamar hotel D'Maleo
Setibanya di D'Maleo Hotel Mamuju sekitar pukul 7 malam, baru badan ini terasa lelah sekali. Tetapi saya belum bisa beristirahat karena sudah ada janji untuk makan malam dengan teman-teman media lokal dan karena awalnya kami berencana untuk meeting siang harinya (yang terpaksa dibatalkan karena pesawat mengalami delay), jadilah acara makan malam dilanjutkan dengan meeting kecil sampai jam setengah sebelas malam.

Karena terlalu lelah, malam itu saya tidur tanpa mimpi sama sekali dan bangun cukup pagi untuk meeting lagi pada pukul 9 dan dilanjutkan dengan survey lokasi sampai jam 4 sore. Setelah beristirahat sejenak dan shower, saya masih ada acara makan malam dengan teman media yang lain dan disambung dengan meeting lagi sampai jam sepuluh malam.

Menurut saya, kota Mamuju cenderung sepi dan tidak dinamis. Bahkan belum ada pusat perbelanjaan yang representatif mengingat ini adalah ibukota propinsi. Nampaknya terlalu dipaksakan untuk pemekaran dan menjadi ibukota propinsi. Tetapi itu urusan politik dan perut bagi sebagian orang di sini. Urusan saya adalah bagaimana caranya Lejel Home Shopping bisa berjualan dan produknya laris manis.

Keesokan harinya, kembali saya harus bangun pagi karena ada meeting lagi pukul 9 dan dilanjut dengan perjalanan ke bandara untuk terbang ke Makassar dan kemudian akan dilanjutkan dengan penerbangan ke Jakarta.

Lagi-lagi saya harus menikmati delay selama 2 jam di Mamuju karena faktor cuaca dan tambahan delay lagi selama 3,5 di Makassar karena lagi-lagi faktor cuaca. Amat sangat menjengkelkan, tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa karena kita berhadapan dengan alam. Setidaknya secara total waktu masih 1,5 jam lebih cepat dibandingkan pada saat saya berangkat.

Jember

Kali ini saya berkesempatan untuk pergi ke Jember, sebuah kota di Jawa Timur, untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan mempelajari kemungkinan membuka cabang Lejel Home Shopping.

Bandara Juanda, Surabaya
Perjalanan ke Jember saya awali dengan penerbangan paling pagi ke Surabaya, berangkat pukul 05:30 dari Jakarta, kemudian disambung dengan penerbangan pukul 07:50 dari Surabaya ke Jember.

Saya memilih untuk naik pesawat ke Jember karena apabila menggunakan mobil dari Surabaya akan memakan waktu sedikitnya 3,5 jam. Dengan pesawat hanya membutuhkan waktu 35 menit saja.

Setelah mendarat, sebelum turun dari pesawat, terlihat bandara Jember yang mungil dan bentuknya tidak seperti bandara pada umumnya. Lebih menyerupai rumah-rumah jaman Belanda dan fasilitas bandaranya sederhana. Jangankan garbarata, conveyor belt untuk bagasi pun tidak tersedia. Bagasi diserahkan melalui semacam jendela dari luar, mengingatkan saya pada bandara Domine Eduard Osok di Sorong yang pernah saya kunjungi dan sudah saya tuliskan sebelumnya.

Bandara Notohadinegoro, Jember
Bandara Notohadinegoro Jember, saat ini hanya melayani penerbangan Garuda dari dan ke Surabaya, masing-masing satu kali penerbangan dari Surabaya dan satu kali penerbangan ke Surabaya per harinya.

Kota Jember cukup menarik. Kecil, simpel, tenang, tetapi komplit. Harga makanan cukup, bahkan beberapa sangat murah bagi saya yang sehari-harinya hidup di Jakarta. Bahkan harga makanan di hotel tempat saya menginap - Aston Jember, yang notabene adalah hotel berbintang, masih lebih murah dibandingkan harga makanan di Bellezza, gedung kantor tempat saya bekerja. Tetapi yang paling penting, rasa masakannya sangat cocok bagi lidah saya yang memang lahir dan besar di Jawa Timur.

Tiga hari dua malam saya lewatkan di Jember, menuntaskan tugas untuk menjalin kerjasama dengan media lokal dan melakukan beberapa survey kecil-kecilan sebelum saya terbang lagi ke Surabaya dan dilanjutkan dengan penerbangan kembali ke Jakarta.

31 October, 2014

Business Trip Kalimantan

Setelah beristirahat selama kurang lebih 3 bulan, tiba waktunya untuk melakukan Business Trip lagi. Kali ini tujuannya adalah beberapa kota, yaitu Balikpapan, Tenggarong, Samarinda, Bontang, Banjarmasin dan Palangkaraya.

Balikpapan

Setelah mendarat di Balikpapan, saya langsung berangkat menuju Tenggarong dengan menggunakan mobil, ditemani oleh pemilik salah satu TV Kabel lokal di Balikpapan. Perjalanannya sama dengan ke Samarinda.

Di tengah perjalanan kami sempatkan untuk makan siang di Rumah Makan Sumedang. Jauh-jauh ke Kalimantan, nama rumah makannya Sumedang dan salah satu hidangan andalannya adalah Tahu Goreng Sumedang.

Tenggarong

Menunggu perahu, Tenggarong, Kalimantan Timur
Sebelum memasuki Samarinda kami keluar dari jalan utama dan mengambil arah menuju Tenggarong. Walaupun sisa jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi perjalanan sangat tidak lancar karena sedang ada perbaikan jalan. Beberapa kali kami harus berhenti menunggu kendaraan dari arah depan, bergantian menggunakan jalan karena separuh jalannya sedang diperbaiki. Kadang sebelah kiri dan kadang sebelah kanan perbaikannya. Setelah melewati ruas yang sedang diperbaiki, sisa perjalanan harus melewati jalanan yang rusak cukup parah, di sepanjang sisi Sungai Mahakam.

Meeting dengan media lokal di Tenggarong berjalan dengan lancar dan sekarang saatnya kami melanjutkan perjalanan ke Samarinda untuk meeting dengan media setempat. Kami tidak melewati jalan yang tadi kami lalui, tetapi kami akan menyeberangi sungai Mahakam dengan menggunakan ferry untuk menuju ke Samarinda.

Melintasi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur
Sejak robohnya jembatan Kutai Kartanegara beberapa waktu lalu yang sampai menelan korban jiwa dan saat ini sedang dalam perbaikan, perjalanan dari Tenggarong ke Samarinda dan sebaliknya harus menggunakan ferry atau melewati jalan rusak yang kami lalui tadi, dengan konsekuensi memakan waktu yang lebih lama.

Sesampainya di tempat penyeberangan, barulah saya melihat bahwa yang dikatakan ferry oleh rekan saya tersebut, ternyata adalah perahu kayu model LST dengan kapasitas 3 mobil. "Wah!? Kenapa jadi begini ceritanya?" batin saya. Dengan model perahu seperti ini, bisa dipastikan faktor keselamatan tidak akan terperhatikan. Secara reflek, saya mulai memasukkan Blackberry, Android, iPhone, iPad dan dompet saya ke dalam tas plastik bekas belanja di Alfamart sebelum memasukkannya ke dalam backpack. Saya bisa berenang. Lumayan jago malahan. Tetapi smartphone dan tablet khan tidak bisa berenang.

Perahu penyeberangan di Sungai Mahakam
Penyeberangan berjalan dengan lancar dan aman selama lebih kurang lima belas menit tanpa informasi mengenai prosedur keselamatan apabila terjadi kondisi darurat. What do you expect anyway? A life vest demo from cabin attendant? They don't have life vest, nor cabin attendant.

Turun dari perahu. Ya, saya yakin itu perahu dan bukannya ferry, kami melanjutkan perjalanan ke Samarinda dan langsung meeting dengan media setempat setibanya kami di sana, dan dilanjutkan dengan makan malam.

Samarinda

Selesai meeting dan makan malam dengan media lokal di Samarinda, kami merubah rencana yang semula akan bermalam di Samarinda, menjadi bermalam di Bontang. Pertimbangannya adalah daripada besok pagi-pagi kami harus berangkat ke Bontang, lebih baik malam ini saja sekaligus ke Bontang karena masih jam delapan malam, sehingga sekitar tengah malam kami akan tiba di Bontang. Sekalian saja capeknya.

Cafe Singapura, Bontang

Bontang

Pukul setengah satu malam, kami tiba di Bontang dan langsung check-in di hotel yang di rekomendasikan oleh rekan media. Kamarnya masih baru, dan room rate-nya cukup membuat kejutan karena kamar suite room yang sudah dipesankan terlebih dahulu oleh media di bontang ternyata hanya 255.000 rupiah per malam. Kejutan dua kali karena saat pertama saya melihat receiptnya sedang dibawa oleh receptionist, sekilas terbaca dua juta sekian, tetapi setelah saya teliti ternyata hanya 255.000 rupiah.

Setelah menyelesaikan meeting dan survey, kami makan siang dan dilanjutkan dengan menikmati kopi di Cafe Singapura. Bukan hanya namanya Singapura, tetapi pemilik cafe ini membangun patung merlion dengan ukuran besar, kurang lebih sama dengan patung aslinya di Singapura.

Kutai Kartanegara

Tugu Equator, Santa Ulu, Kutai Kartanegara
Dalam perjalanan kembali ke Balikpapan, kami menyempatkan untuk singgah di Tugu Equator, yang terletak di Santan Ulu, Kutai Kartanegara. Seperti hal-nya Tugu Khatulistiwa di Pontianak yang juga sudah saya kunjungi dan saya tuliskan pada entry sebelumnya, tugu equator ini sebagai penanda garis lintang 0° yang membagi bumi menjadi 2 bagian belahan - Utara dan Selatan.

Sayangnya, berbeda dengan tugu khatulistiwa di Pontianak yang terawat rapi dan ada penjaganya, di tugu khatulistiwa ini tidak ada penjaganya. kami hanya bisa berfoto di depannya, tetapi pintu masuk ke gedungnya dalam kondisi di gembok. Di halaman dan jalan setapaknya pun banyak berserakan daun kering.

Balikpapan

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih delapan jam dari Bontang, dengan diselingi istirahat dan minum kopi di Samarinda, tibalah kami kembali di Balikpapan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam saat saya memasuki hotel. Capeknya jangan ditanya lagi, sehingga saya bahkan langsung tertidur tanpa sempat membersihkan badan dan ganti pakaian.

Pagi harinya setelah breakfast, kami menyelesaikan dua meeting dan survey ke media lokal sebelum menuju bandara untuk terbang ke Banjarmasin. Ada dua jadual meeting di Banjarmasin, malam ini dan besok pagi.

Banjarmasin

Pukul delapan malam, saya mendarat di Banjarmasin dan disambut asap dari hasil kebakaran hutan saat keluar dari pintu pesawat.

Saya dijemput oleh rekan media di Bandara. Setelah singgah sebentar untuk makan malam, kami menuju hotel untuk membicarakan lebih detail kerjasama antara Lejel dengan media tersebut.

keesokan paginya, saya meeting dengan media lokal yang lain dan setelah itu saya berangkat menuju Palangkaraya dengan menggunakan mobil.

Palangkaraya

Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
Setelah sempat singgah di Kuala Kapuas untuk makan siang, akhirnya perjalanan darat selama 4 jam ini berakhir. Kami memasuki kota Palangkaraya yang berasap. Sepanjang perjalanan Banjarmasin - Palangkaraya tadi, kami beberapa kali melewati beberapa area yang sedang terbakar, lengkap dengan anggota TNI yang berusaha memadamkan kebakaran. Kondisi jalannya berkabut asap.

Bau asap cukup menyesakkan nafas, juga terasa pada saat saya sudah di area lobby hotel untuk check-in. Asapnya masuk lobby, dan ternyata asap itu juga masuk kamar. Awalnya saya berniat complain karena bau asap di kamar, tetapi mau bagaimana lagi karena kotanya memang sedang berasap cukup tebal.
Reception hotel berbaik hati memberi masker sehingga saya bisa bernafas lebih baik, walaupun juga tetap tidak nyaman. Terlebih lagi saat siang itu saya dan rekan media setempat harus meeting sambil menggunakan masker.

Kebakaran lahan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Malam harinya asap mereda, sehingga meeting dan acara makan malam bisa berjalan lebih lancar. Sudah selesai dua meeting di kota ini, tinggal satu meeting lagi besok siang, sebelum kembali ke Jakarta.

Keesokan paginya, sambil menunggu jadual meeting, saya menghabiskan waktu di kamar hotel untuk membuat laporan. Rencananya saya akan turun jam 12 siang, check-out dari hotel, kemudian meeting dengan satu lagi media lokal dan berangkat ke bandara. Tetapi baru menunjukkan jam 11, saya merasa pusing dan mual seperti mabok laut. Saya segera menyadari bahwa saya mulai keracunan asap yang masuk ke kamar. Saya melihat dari jendela kamar hotel, di luar memang asap terlihat cukup tebal.

Saya memutuskan untuk turun dan check-out saat itu juga, kemudian menunggu kedatangan media lokal sambil duduk di lobby. Walaupun ada asap juga, tetapi setidaknya sirkulasi udaranya lebih baik.

Palangkaraya berasap, dari jendela kamar hotel
Setelah selesai meeting dan tiba di bandara, masih ada masalah baru. Pesawat dipastikan akan delay, karena tebalnya asap sehingga pesawat dari Jakarta yang akan saya gunakan pukul 17:20, belum bisa dipastikan apakah bisa mendarat. Bahkan pesawat yang seharusnya tiba tadi pagi pun belum berangkat dari Jakarta hingga sore ini. Ditambah lagi info bahwa kemarin, pesawat yang seharusnya mendarat sekitar pukul lima sore kurang, baru mendarat pada pukul 10 malam.

Kekhawatiran dan ketidakpastian itu langsung hilang setelah pada pukul tujuh malam, pesawat dari Jakarta yang sedianya untuk penerbangan pagi akhirnya mendarat dan 10 menit kemudian, pesawat yang akan membawa saya juga mendarat.

Selesai sudah perjalanan dinas yang padat dan melelahkan ini, saatnya saya kembali bekerja dengan normal di kantor untuk beberapa minggu sebelum menjalani perjalanan dinas lagi.

14 August, 2014

Sin Jung Ho

Rest In Peace, my dear friend..
John. Demikian kami biasa memanggil teman Korea yang satu ini. Nama aslinya adalah Sin Jung Ho. Dia sudah lama tinggal di Indonesia, menyelesaikan SMP atau SMA (saya sedikit lupa) di Bandung. Maka tidak heran kalau bahasa Indonesia nya sudah lancar, termasuk slank, aksen dan bahasa gaul.

Makassar, Sulawesi Selatan
Saya pertama kali mengenal John pada tahun 2007, saat saya masih bekerja di salah satu TV lokal milik Jawa Pos Group. John sendiri saat itu bekerja di Lejel Home Shopping, tempat kerja saya sekarang. Awalnya John bermaksud menayangkan iklan Lejel Home Shopping di TV tempat saya bekerja. Tetapi di tengah masa negosiasi, John mengundurkan diri dari Lejel dan pindah ke Livio Home Shopping. Perundingan dilanjutkan, kali ini untuk menayangkan iklan Livio Shopping.

Pertemanan saya dengan John menjadi akrab karena kerjasama ini, dan kami tidak hanya bertemu sebagai Media dan Client, tetapi juga sebagai teman. Kami sering melewatkan waktu bersama dengan beberapa teman media lain yang saya kenalkan kepada John dan akhirnya menayangkan iklan Livio Shopping di Media mereka. Cafe, restaurant, dan karaoke adalah tempat kami nongkrong bersama hampir setiap hari.

Batam, Kepulauan Riau
Pertemanan menjadi persahabatan, dan persahabatan kami menjadi semakin erat  saat pada akhirnya John mengundurkan diri dari Livio Shopping untuk kembali bekerja di Lejel Home Shopping dan saya juga mengundurkan diri dari TV lokal tempat saya bekerja, kemudian bergabung dengan Lejel Home Shopping. Jadilah kami bekerja di satu kantor.

Seperti pernah saya ceritakan pada beberap entry sebelumnya, saya dan John sangat sering bepergian berdua untuk Business Trip. Aceh, Medan, Batam, Tanjung Pinang, Pekanbaru dan ibukota-ibukota propinsi lainnya di Indonesia. Kami berdua ingin bisa mengunjungi semua ibukota propinsi. Itu sebabnya foto-foto di setiap kota yang saya tampilkan pada blog ini, posenya sebisa mungkin di depan papan nama bandara. Sayangnya John belum sempat menuntaskan cita-citanya. Masih kurang beberapa ibukota lagi, yaitu  Palembang, Bengkulu, Lampung, Pontianak, Mamuju, Ambon, Ternate, Sorong dan Jayapura, tetapi nasib berkata lain.

Jakarta
Saya masih ingat sore itu, bulan Pebruari 2012. John datang kepada saya dan mengatakan bahwa dia harus membatalkan jadual business trip-nya dengan saya ke Kendari dan Jogja, dimana kami seharusnya berangkat keesokan harinya, karena ada tamu dari Korea dan dia harus menemani tamu tersebut. Tidak menjadi masalah bagi saya untuk berangkat sendiri, karena perubahan rencana seperti ini bukan baru pertama kalinya terjadi.

Malamnya, saat akan pulang, saya sempat bertemu John di Lobby lantai dasar dan saya menanyakan, apakah dia tidak titip salam untuk Mr. Helmet (kisah tentang Mr. Helmet pernah saya post-kan sebelumnya dengan judul "Kendari"). John menjawab "Bilangin Mr. Helmet, ada salam dari John. Kapan-kapan kita janjian ketemu".

Tomohon, Sulawesi Utara
Ternyata itu adalah obrolan terakhir saya dengan John. Saya mendapat kabar bahwa John meninggal dunia, saat saya transit di Makassar, dalam perjalanan dari Kendari menuju Jogja. Saya sempat bermaksud membatalkan perjalanan ke Jogja untuk kemudian langsung ke Jakarta, tetapi teman-teman media dari Purwokerto, Solo, Semarang, Cilacap dan beberapa kota lain, sudah berkumpul di Jogja. Tidak enak membatalkannya karena saya yang mengundang mereka ke Jogja.

Saya putuskan untuk tetap ke Jogja dan akan mempersingkat kunjungan dari rencana semula 2 malam, menjadi 1 malam agar saya bisa melayat John. Tetapi rencana saya tidak berhasil. Setelah rangkaian meeting selesai, saya tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat. Apabila naik kereta api atau bus, nanti setibanya di Jakarta, prosesi John juga sudah selesai. Akhirnya saya kembali ke Jakarta sesuai jadual business trip. Saya yakin John tahu dan akan memaklumi saya tidak bisa hadir.

Terlalu banyak kenangan sebagai sahabat. Sudah lengkap rasanya. Tertawa bersama, mabuk bersama bahkan berselisih paham dan bermusuhan walaupun untuk sementara. Selamat Jalan Sahabat..

13 August, 2014

Golf

Untuk menjaga kesehatan dan supaya tetap fit, tentu saja olah raga adalah salah satu resep penting dan bagi saya, olah raga adalah salah satu dari sangat sedikitnya hal sehat yang saya lakukan.

Golf dengan anak saya Tevin (kiri) dan Levin (tengah)
Saya merokok, minum kopi kurang lebih 6-8 cup per hari, minum minuman beralkohol pada saat entertain dengan mitra kerja, saya juga tidak pernah membatasi makanan berkolesterol tinggi, setiap malam mulai tidur paling cepat pukul 3 dini hari (kecuali sedang sakit), makan tidak pernah tepat waktu, dan saya paling tidak suka minum vitamin. Padahal saya pernah kena serangan jantung ringan pada tahun 2010.

Golf adalah olah raga pilihan saya. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih golf, diantaranya adalah sambil golf, saya bisa menikmati hijaunya rumput dan pepohonan di lapangan dan udara segarnya. Saya tidak memilih olah raga bersepeda yang sedang marak saat ini, karena menurut saya agak kurang sehat kalau olah raga sambil menghirup asap knalpot.


Banyak yang beranggapan bahwa golf adalah olah raga mahal. Olah raganya orang kaya. Saya kurang setuju dengan anggapan ini. Memang mungkin tidak murah, tetapi juga tidak selalu mahal jika dibandingkan dengan olah raga lain. Tergantung kita sendiri, mau menjadikannya mahal atau tidak.

Sebagai contohnya, peralatan golf satu set ada yang harganya puluhan juta, bahkan ratusan juta untuk merek dan jenis tertentu, misalnya edisi khusus, terbatas dan lain-lain. Tetapi ada juga peralatan golf untuk pemula yang harga satu set sekitar 3 juta. Peralatan bekas bahkan ada yang harga satu set di kisaran 1,5 sampai 2 juta. Bandingkan dengan hobby bersepeda, harga sepeda juga tidak berbeda jauh dengan harga stick golf bukan?

Saya sendiri memilih untuk menggunakan stick golf yang tidak satu merek dalam satu bag. Driver dan Hybrid dari Callaway, Fairway dari Cobra, Iron dari Bridgestone, Wedge saya pilih Cleveland dan Putter yang saya pilih adalah Scotty Cameron dari Titleist. Mereknya gado-gado, karena saya pilih yang paling cocok untuk saya dan hasilnya maksimal.

Biaya bermain golf juga bervariasi, ada lapangan golf bertarif lebih dari 1 juta untuk 18 holes, tapi ada juga lapangan golf bertarif 500 ribu dan bahkan 150 ribu untuk 18 holes. Lagi-lagi tergantung kita, mana yang kita pilih.

Untuk belajar dan berlatih golf pun tidak terlalu mahal. Berlatih di Driving Range biayanya berkisar 60 hingga 110 ribu per 100 bola. Apabila membutuhkan pelatih, biayanya antara 150 hingga 300 ribu per jam atau bisa mengambil paket sekitar 2 juta untuk 12 kali pertemuan. Jika dibandingkan dengan fitness menggunakan personal trainer, mana yang lebih mahal?

Ada juga yang mengatakan bahwa "Golf itu olah raga ringan". Coba saja pukul 100 bola di driving range. Kalau belum biasa, dijamin besok pagi bangun tidur pegal semua. Atau boleh juga main golf di lapangan, seperti saya yang selalu memilih berjalan kaki daripada menggunakan golf cart. Untuk 18 holes, total jaraknya sekitar 6,5 km, masih ditambah memukul sekitar 80-90 kali sambil berpanas-panas matahari.


17 June, 2014

Timika

Kota selanjutnya di Papua yang saya kunjungi setelah Jayapura adalah Timika. Ada dua jadual meeting dengan media lokal di Timika.

Mengingat kota ini adalah 'milik Amerika', tidak mengherankan apabila bandaranya, walaupun kecil, bentuk dan suasananya tidak seperti bandara-bandara lain di Indonesia yang sudah pernah saya kunjungi. Lebih 'berbau luar negeri' kalau menurut saya.

Banyak bus besar berwarna kuning di bandara, yang menurut pengemudi mobil yang membawa saya ke hotel, adalah milik Freeport. Jendela bus diberi semacam tirai dari besi pada bagian luarnya, yang lagi-lagi menurut pengemudi saya untuk melindungi dari tembakan apabila terjadi serangan saat mereka di perjalanan. Serem juga membayangkannya.. seperti di film.

Bandara Mozes Kilangin, Timika
Hotel tempat saya menginap berada di tengah kota dan meeting pertama bertempat di hotel, sehingga saya baru berkesempatan untuk melihat lebih banyak kota Timika pada waktu menuju ke kantor TV lokal untuk meeting yang berikutnya. Kotanya kecil dan sepi, dan bangunannya rata-rata belum modern.

Pengemudi sempat menanyakan apakah setelah meeting, saya berminat untuk ke Tembagapura, melihat tambang. Pada mulanya saya tertarik, terlebih karena saya sering mendengar dan membaca soal eksplorasi berlebihan oleh Freeport dan merugikan bangsa Indonesia karena pembagiannya yang kecil.

Menurut pengemudi, tidak semua orang boleh memasuki areal itu, tetapi ia mempunyai koneksi aparat keamanan yang bisa membawa masuk dan mengawal kita. Tiba-tiba saya teringat bus kuning di bandara yang menggunakan tirai besi, sehingga saya menanyakan ke pengemudi, apakah aman untuk ke sana. Dia menjawab dengan tenang, mudah-mudahan tidak ada masalah dan sebaiknya kita tidak menempel ke jendela. Karena kejadian dua minggu sebelumnya ada yang tertembak hingga tewas karena duduk terlalu dekat ke jendela.

Dengan resiko seperti itu hanya untuk melihat tambang, saya lebih memilih untuk mengucapkan terima kasih atas tawarannya dan sebaiknya kembali saja ke hotel. Setidaknya baring-baring di kamar hotel sambil menonton acara televisi masih lebih baik daripada menjadi sasaran tembak.

Biak dan Jayapura

Perjalanan kali ini lumayan jauh, karena saya ada jadual meeting di Jayapura, Timika dan Denpasar. Penerbangan ke Jayapura akan transit di Makassar dan Biak, berangkat dari Jakarta pukul 11 malam dan tiba di Jayapura keesokan harinya pada pukul 7 pagi waktu setempat.

Biak

Bandara Frans Kaisiepo, Biak
Pesawat mendarat untuk transit di Biak pada dini hari, setelah sebelumnya transit selama satu jam di Makassar. Seperti halnya di Makassar, saya menggunakan kesempatan transit ini untuk turun dari pesawat, meluruskan kaki, sekaligus merokok dan memesan secangkir kopi.

Transit juga memberi kesempatan untuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan bahwa saya sudah sampai Biak, walaupun hanya sekedar transit. Karena satu dan lain hal, jadual transit yang semula hanya satu jam diperpanjang selama 30 menit. Tidak menjadi masalah, karena itu berarti saya bisa lebih santai menikmati kopi saya dan menambah satu-dua batang rokok. Ditambah lagi, jadual meeting di Jayapura adalah jam 2 siang.


Jayapura

Akhirnya perjalanan panjang dari Jakarta berakhir sudah. Pesawat mendarat di Jayapura. Sentani untuk lebih tepatnya, karena bandaranya berada di Sentani, luar kota Jayapura. Tidak seperti di Sorong, terminal kedatangannya besar dan bagus. Baru saja di renovasi nampaknya. Tetapi bagian depan bandara masih belum selesai di renovasi.

Bandara Sentani, Jayapura
Hal pertama yang saya temui saat menunggu giliran mendapatkan kendaraan ke kota Jayapura adalah banyak tulisan "Dilarang makan pinang". Rupanya kebiasaan penduduk setempat adalah mengunyah pinang dan kemudian meludahkannya, sehingga untuk menjaga kebersihan maka dipasanglah tulisan-tulisan itu. Tetapi masih banyak sekali bekas kunyahan pinang yang berwarna merah itu di jalanan depan area terminal.

Perjalanan menuju Jayapura melewati Danau Sentani yang luas dan indah pemandangannya. Saya tidak terlalu lama menikmatinya karena masih mengantuk setelah perjalanan semalam, sehingga tertidur dan baru bangun pada waktu mobil tiba di hotel.

Tidak banyak yang saya lihat di Jayapura, karena jadual meeting semuanya dilakukan di hotel dan kebetulan kantor cabang serta showroom Lejel Home Shopping yang selalu masuk di jadual untuk dikunjungi berada tepat di sebelah hotel.

Pemandangan di belakang hotel juga sangat indah karena hotel berada di tepi laut. Airnya jernih sekali, mungkin karena di sekitar situ tidak ada pabrik atau industri. Sayangnya saya hanya semalam di Jayapura dan keesokan harinya pukul 5 pagi, saya sudah berangkat menuju bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Timika.

Sorong


Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bumi Papua, Sorong adalah kota pertama, dan pada waktu itu rencana ke Sorong harus direvisi beberapa kali, karena tidak setiap hari ada jadual penerbangan yang sesuai dengan tanggal meeting saya di tiap kota, khususnya penerbangan dari dan ke Sorong, baik itu masuk Sorong dari Manado dan keluar ke Makassar, ataupun sebaliknya.

Bandara Domine Eduard Osok, Sorong
Jadual meeting saya kali ini adalah di Manado, Sorong, Makassar dan Ambon. Apabila salah menjadualkan penerbangan, rutenya akan menjadi semakin jauh, atau saya harus tinggal di satu kota lebih lama dari yang saya perlukan. Biaya bisa membengkak dan saya kelelahan. Jadi rute yang paling efisien adalah dari Jakarta ke Manado, dilanjut ke Sorong, kemudian ke Makasar, dilanjut lagi ke Ambon dan kembali lagi ke Jakarta.

Di Manado, dari pembicaraan dengan teman-teman media setempat, saya mendapat info bahwa sebelum ke Papua sebaiknya kita mendapatkan vaksin anti Malaria karena besar kemungkinan bisa terjangkit Malaria. Setelah saya ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa apabila di vaksin pagi itu dan siangnya saya sudah ke Sorong, vaksinnya belum efektif mencegah Malaria. Diperlukan setidaknya beberapa hari setelah vaksin, sebelum vaksin itu efektif mencegah Malaria. Jalan satu-satunya adalah minum pil kina 1 kali sehari selama seminggu lebih. Jadilah saya mulai hari itu hingga hampir dua minggu sesudahnya minum pil kina setiap hari.

Tiba di Sorong, saya mendapat pengalaman baru di bandara. Terminalnya kedatangannya kecil, mungkin hanya sebesar aula sekolah. Begitu kami turun dari bus yang membawa kami dari pesawat dan memasuki terminal kedatangan, pintu kemudian ditutup dan dikunci dari luar. Ruang kedatangan tidak dilengkapi AC, sehingga udaranya pengap dan maaf, bercampur aroma keringat porter-porter di sana.

Gedung terminal kedatangan, bandara Sorong
Saya mencari-cari conveyor belt untuk mengambil bagasi, tetapi tidak menemukannya, sehingga akhirnya saya bertanya kepada salah satu porter, dimana saya bisa mengambil bagasi saya. Dia hanya menjawab "Tunggu saja Pak, sebentar lagi".

Dan benar juga, tidak lama kemudian ada jendela kecil terbuka dan salah satu petugas yang berdiri di depannya menerima koper dari luar, satu persatu, kemudian meneriakkan nomer tag bagasi. Pemilik bagasi maju satu per satu bila nomernya disebutkan, menunjukkan tag bagasi, mengambil barangnya, kemudian meninggalkan ruang kedatangan itu.

Saat akhirnya menerima bagasi, saya sudah lumayan mabok bau badan dan buru-buru keluar dari ruang kedatangan untuk mencari udara segar.

16 June, 2014

Ambon

Kejadian kurangnya pemahaman geografi terulang lagi di Ambon saat pertama kalinya saya melakukan business trip ke sana.
Bandara Internasional Pattimura, Ambon

Dari Info yang saya dapat, hanya ada dua hotel ber-merek, yaitu Aston dan Swiss-bel. Dengan pertimbangan untuk memudahkan perjalanan dari hotel ke Bandara saat kami kembali ke Jakarta, mengingat penerbangannya pada jam 7 pagi, saya memilih hotel yang jaraknya lebih dekat ke bandara.

Pilihan jatuh pada Hotel Aston Natsepa, yang ternyata lokasinya sangat jauh dari kota Ambon, tempat Swiss-bel yang lokasinya di tengah kota. Hal ini baru saya ketahui saat teman-teman media lokal saya telepon untuk konfirmasi jadual meeting di hotel tempat saya menginap. Saat saya sampaikan bahwa saya menginap di Aston Natsepa, mereka bilang 'Wah.. kenapa jauh sekali Pak menginapnya?'

Saat menunggu kedatangan teman-teman media, saya sempatkan untuk melihat peta Ambon di lobby hotel, dan barulah saya tahu kesalahan saya. Jarak dari Bandara ke Swiss-bel di tengah kota memang jauhnya lebih dari sepuluh kilometer dibandingkan dari Bandara ke Aston Natsepa. Masalahnya adalah, posisi kota ada di sebelah kanan apabila dari arah bandara, sedangkan Natsepa ada di sebelah kiri. Jadi apabila dari Natsepa hendak ke kota, jaraknya jauh sekali. Saya mengira, Aston Natsepa Ambon, seperti namanya, berada di kota Ambon. Ternyata maksudnya adalah pulau Ambon.

Kupang

Saya akhirnya berkesempatan juga berkunjung ke Kupang, setelah sebelumnya hanya banyak mendengar bahwa separuh pulaunya saat ini sudah bukan milik Indonesia lagi, sehingga bila dilihat di peta, ada 'luar negeri' di dalam Indonesia. Kita memang berbagi pulau dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei serta Papua New Guinea, tetapi bagian dari negara-negara itu ada di 'sebelah luar', sementara Timor Leste berada di 'sebelah dalam'.

Bandara El Tari, Kupang
Perjalanan dari Bandara ke kota tidak terlalu jauh, dan karena pulaunya yang berbukit, beberapa kali saya dapat melihat pemandangan pantai dan laut yang indah. Hotel saya terletak di pinggir pantai dan yang menggembirakan adalah di seberang hotel terdapat depot yang menjual makanan favorit saya - Soto Madura.

Rasa sotonya sama dengan yang di Surabaya, tidak seperti beberapa Soto Madura di Jakarta yang rasanya sudah agak berbeda. Setahu saya, walaupun namanya Soto Madura, tetapi justru soto ini tidak ada di Madura. Surabaya yang menjadi pusatnya.

Sayangnya, saya hanya akan tinggal semalam saja di Kupang, lagi-lagi karena hanya ada dua meeting dengan media setempat dan meninjau cabang serta showroom Lejel Home Shopping.

Ternate

Penerbangan ke Ternate berasa lama karena berangkat dari Jakarta pada malam hari dan tiba di Ternate pada pagi hari. Tidak seperti pada waktu kunjungan saya ke Ternate untuk pertama kalinya, kali ini saya merasakan bandara baru di Ternate. Bagus dan cukup megah.

Bandara Sultan Babullah, Ternate
Hanya ada satu hotel berbintang di Ternate, dan di sanalah saya menginap. Bangunan hotelnya megah, tetapi bagian dalam dan fasilitasnya tidak terawat. "Gangguan dari dunia lain", seperti hal-nya saat saya di Jambi, terjadi beberapa kali dalam semalam. Secara keseluruhan service-nya agak kurang.

Apabila biasanya saya ada masalah dengan pelajaran geografi, saat ini pelajaran ilmu pengetahuan saya juga terbukti masih kurang. Saya memperhatikan di lobby hotel yang menghadap ke laut dan terlihat ada dua pulau di seberang, diletakkan gambar uang kertas pecahan seribu rupiah dengan ukuran cukup besar. Demikian pula pada waktu saya makan malam dengan teman-teman media lokal, gambar itu ada lagi dan juga di beberapa tempat saya kunjungi, memasang gambar itu. Saya berpikir, kalaupun senang memasang gambar uang, kenapa uang seribu? Kenapa bukan uang seratus ribu?

Pulau Tidore, dilihat dari lobby hotel
Keesokan harinya saat check-out, saya menanyakan kepada petugas reception soal hobby warga Ternate memasang gambar uang seribu. Dijawab oleh petugas reception, bahwa di uang seribu khan ada gambar pulaunya, dan pulau itu adalah pulau Tidore. Saya tanyakan lagi, lalu apa hubungannya dipasang di Ternate? Apakah pulaunya dekat sini? Dijawablah oleh petugas itu sambil menunjukkan bahwa pulau besar di seberang laut, di depan hotel, adalah pulau Tidore. Sambil memperhatikan lagi gambar uang itu, barulah saya tahu bahwa apabila memandang dari lobby hotel, pemandangannya persis seperti gambar di uang seribu itu.

Kendari

Bandara Haluoleo, Kendari
Walaupun tidak sejauh jarak bandara Gorontalo ke kota, tetapi jarak bandara Kendari ke kota juga tidak bisa dibilang dekat. Kotanya kecil dan sepi, mengingatkan saya pada kota Palu, lengkap dengan jalan raya di pinggir pantainya.

Saya menginap semalam di Kendari, karena hanya ada dua meeting dengan media lokal dan sisa waktunya hanya untuk melihat-lihat kota Kendari untuk memperkirakan kemungkinan membuka cabang dan showroom di sini.

Setelah menyelesaikan dua meeting di siang hari, malam harinya bersama teman-teman dari media lokal setelah selesai makan malam, kami mencoba minuman khas daerah ini, yaitu Saraba, sambil duduk di tepi pantai. Rasa minumannya seperti kopi susu dan jahe. Lumayan hangat dan mampu mencegah masuk angin akibat duduk malam-malam di tepi pantai.

Naik pesawat sambil memakai helm
Ada hal lucu dan unik pada perjalanan ke Kendari ini, tepatnya saat sedang boarding pesawat di Makassar. Saya yang saat itu pergi dengan sahabat saya John, sudah duduk manis di pesawat, sementara banyak penumpang yang masih berdiri, memasukkan barang ke kompartemen bagasi di atas dan berjalan menuju kursinya. Tiba-tiba ada pemandangan yang aneh, seorang pria berumur berdiri di lorong pesawat, antre untuk jalan ke kursinya, sambil memakai helm untuk naik motor. Tidak jelas apa maunya dan apa yang terjadi, tetapi sepanjang penerbangan, helm tersebut tetap dipakai, dan baru dilepas justru pada saat pesawat sudah mendarat dan dia sudah turun dari pesawat. Mungkin saja beliau dulu adalah penerbang pesawat tempur, sehingga terbiasa mengenakan helm di pesawat. Saya dan John menamai Bapak itu "Mr. Helmet".

Manado

Bandara Sam Ratulangi, Manado
Tempat yang menarik untuk dikunjungi. Manado adalah satu kota yang ingin saya kunjungi di awal-awal business trip saya.

Ada pemandangan unik di sepanjang jalan di kota Manado pada bulan Desember, saat saya melakukan business trip. Baru kali ini saya melihat ada kota di Indonesia yang banyak warganya memasang pohon natal di depan rumahnya, tepatnya di pinggir jalan, lengkap dengan hiasan dan lampunya.

Jadinya meriah dan suasana Natal menjadi semakin terasa. Masih ditambah lagi dengan adanya Pohon Natal raksasa di kawasan Megamas dan ada SPBU yang petugasnya memakai topi Sinterklas.

Monumen Yesus Memberkti, Manado
Hari pertama di Manado saya gunakan untuk meeting dengan beberapa media lokal, dan keesokan harinya saya ke Tomohon dan Tondano untuk meeting dengan media lokal di sana. Saya berkesempatan menikmati pemandangan di tepi danau Tondano. Udaranya sejuk, karena berada di ketinggian 600m dari permukaan laut, dan danaunya sangat luas, sekitar 4,2 hektar.

Hari terakhir di Manado, setelah breakfast dengan teman-teman media, saya berangkat ke bandara lebih awal, karena saya  mampir terlebih dahulu ke monumen 'Yesus Memberkati', yang adalah patung Yesus tertinggi kedua di dunia setelah Patung Yesus 'Cristo Redentor' di Rio de Janeiro, Brasil.

Sampai saat ini, seingat saya, sudah lebih dari lima kali saya berkunjung ke Manado.

Gorontalo

Seperti halnya Banjarmasin, kota Gorontalo juga jauh sekali jaraknya dengan bandara. Bedanya adalah bila di Banjarmasin perjalannya melalui deretan gedung-gedung, maka di Gorontalo perjalanannya benar-benar seperti tamasya ke luar kota. Sebagian besar yang kami lewati adalah daerah persawahan, sehingga perjalannya benar-benar berasa jauh.

Pada waktu saya ke Gorontalo untuk pertama kalinya, sekitar tahun 2011 hanya ada satu hotel berbintang dan dari petugas reception, saya baru tahu bahwa di kota ini tidak ada mall. Sedang dalam pembangunan.

Bandara Djalaluddin, Gorontalo
Saya yang pada waktu itu kebetulan membutuhkan pakaian baru, karena dari rencana business trip yang semula hanya tiga hari, diperpanjang hingga sudah hari ke lima dan nampaknya masih harus ditambah beberapa hari lagi.

Akhirnya saya memutuskan me-laundry beberapa pakaian, setidaknya untuk saya pakai sampai dengan saya kembali ke Makassar besok paginya, karena dengan ketidak-adaan mall, maka tempat membeli pakaian di dekat hotel yang direkomendasikan oleh petugas reception, adalah sebuah pasar malam kaki lima. Bukan masalah gengsi untuk beli pakaian dalam, jeans dan kemeja atau polo shirt serta kaos kaki di pasar malam, dan bukannya saya tidak coba untuk melihat pasar malamnya, tetapi memang model, bahan dan mereknya amat sangat tidak sesuai, dan.. ya.. memang ada gengsi, walaupun tidak 100%.. hanya sekitar 90%..

Kunjungan saya terakhir kalinya ke Gorontalo adalah bulan Desember tahun lalu, dan saya sudah menginap di hotel yang baru. Hotelnya bagus dan menjadi satu dengan mall yang cukup besar.

Palu

Ada yang unik pada waktu pesawat yang membawa saya mendarat di Bandara Mutiara, Palu. Saat itu hujan cukup deras dan bandara tidak dilengkapi Garbarata, karena memang bandaranya kacil.
Bandara Mutiara, Palu

Sampai dengan pesawat berhenti, melalui jendela pesawat tidak terlihat ada bus yang mendekati untuk membawa kami ke gedung terminal. Ternyata saat menuruni tangga pesawat, saya melihat petugas bandara di ujung tangga, berdiri disamping sebuah drum yang dipenuhi payung. Dia membagikan payung satu per satu kepada penumpang yang kemudian berjalan sambil perpayung ke terminal kedatangan. Lucu juga melihat barisan berpayung dan saya menjadi bagian dari barisan berpayung itu.

Kota Palu, sekalipun adalah ibukota propinsi, adalah kota kecil dan tenang. Tidak ada kemacetan dan tidak banyak traffic light. Hanya ada 2 traffic light sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, dan di perjalanan menuju hotel, kami menyusuri tepi pantai. Pemandangan yang indah karena saya menyukai pantai dan kurang menyukai pemandangan pegunungan.

Sulteng Pos, berdiri paling kiri adalah almarhum John
Setelah menyelesaikan dua meeting dengan media lokal pada siang harinya, malam harinya saya datang memenuhi undangan makan malam dari teman-teman media lokal. Seafood lagi, dan saya memang tidak pernah bosan dengan seafood. Setelah selesai makan malam, mereka mengajak saya untuk menikmati kopi di cafe Excelso yang letaknya di perjalanan menuju hotel.

Saya sempat muncul di koran lokal Palu pada edisi keesokan paginya, karena pemilik salah satu TV lokal yang hadir malam itu, juga adalah pemilik koran tersebut. Beliau datang pagi hari saat breakfast dan memberikan korannya kepada saya. Memang malam itu kami sempat berfoto bersama-sama, tetapi saya mengira fotonya hanya untuk kenang-kenangan.

13 June, 2014

Makassar

Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar
Salah satu kota yang cukup sering saya kunjungi dalam rangka business trip adalah kota Makassar, karena kota ini menjadi gerbang untuk kunjungan saya ke kota-kota lainnya di Sulawesi dan Indonesia bagian timur.

Bila di Kalimantan menu utamanya adalah Kepiting, maka menu ikan bakar adalah menu wajib pada setiap kunjungan saya di  Sulawesi. Bukan cuman ikan, tetapi juga cumi bakar, karena saya juga penggemar cumi.

Berdasarkan info yang saya terima, ada masakan khas Makassar selain Konro, yaitu Nyuk-Nyang, yang setelah saya tanyakan kepada teman media di sana ternyata adalah Bakwan, kemudian Jalang Kotek yang ternyata adalah Pastel dan Otak-otak. Yang terakhir ini memang benar-benar enak.

Pantai Losari, Makassar
Saya sudah menyempatkan untuk mampir di Pantai Losari, yang setelah saya cari-cari tetap tidak menemukan pantainya, kecuali papan namanya, karena yang ada di benak saya tentang pantai adalah hamparan pasir putih menuju laut. Menurut saya, Pantai Losari hanya seperti di pinggir danau.

Tempat lain yang saya kunjungi adalah lokasi pembangunan mega proyek "Center Point of Indonesia", konon dinamakan seperti ini karena letaknya tepat di tengah-tengah indonesia, antara Barat ke Timur dan Utara ke Selatan. Titik Nol-nya Indonesia.

Balikpapan dan Samarinda

Balikpapan 

Bandara Sepinggan, Balikpapan
Ini adalah kota pertama di luar pulau Jawa, Bali dan Madura yang saya kunjungi. Business trip pertama saya adalah ke Balikpapan dan kemudian Samarinda. Sekarang sudah lebih dari empat kali saya ke Balikpapan.

Awal-awal dulu setiap ke Balikpapan, saya selalu menginap di Jatra, karena hotelnya bagus dan yang lebih penting adalah lokasinya di Balikpapan Superblok, yang menjadi satu dengan mall yang besar. Masih ditambah dengan lokasi kantor cabang dan showroom Lejel Home Shopping yang juga berada di kompleks yang sama.

Sekarang saya lebih memilih untuk menginap di Hakaya Hotel karena letaknya yang jadi satu dengan Bandara, tinggal turun eskalator, sudah bisa langsung ke checkin area bandara. Juga karena kantor cabang serta showroom Lejel sudah pindah, tidak lagi di Balikpapan Superblok.

Biasanya, business trip ke Balikpapan selalu disambung dengan business trip ke Tarakan, karena sudah dekat, jadi bisa sekali jalan. Rute ini saya namakan rute kolesterol tinggi, karena di Balikpapan dan Tarakan selalu menunya Kepiting Kenari. Kalau rutenya semalam di Balikpapan dan semalam di Tarakan, maka 2 hari berturut-turut menunya Kepiting. Pusing ya pusing deh, tapi worth it.


Samarinda

Bukit Soeharto, Samarinda
Saya sudah beberapa kali ke Samarinda, tetapi belum pernah menginap di kota ini. Selalu berangkat pagi dari Balikpapan, kemudian meeting di Samarinda dan kembali lagi ke Balikpapan pada sore harinya.

Perjalanan menuju ke Samarinda cukup melelahkan, berkisar dua setengah hingga hampir tiga jam. Kalau dua jam setengah di Jakarta, mungkin hanya sekitar 15-20 kilometer. Tetapi kalau di luar pulau, sudah jauh sekali.

Perjalanan ini melintasi Bukit Soeharto, dan karena posisinya, handphone selalu tidak mendapat signal sama sekali. Tiga handphone saya dengan tiga operator yang berbeda - Telkomsel, Indosat dan XL, kompakan no service.

Selain meeting dengan media lokal, saya hanya sempat makan siang dan mampir di Masjid Agung Samarinda. Lain waktu, saya akan menginap di Samarinda supaya bisa berkesempatan untuk melihat-lihat lebih banyak.

Banjarmasin

Dikarenakan kurangnya pengetahuan saya tentang geografi, mungkin saya sedang bolos sewaktu diterangkan di sekolah dulu, saya menghabiskan banyak waktu di jalan saat saya melakukan business trip di Banjarmasin untuk pertama kalinya.

Saya sudah booking di "A" Hotel Banjarmasin, dan setibanya saya di bandara, saya langsung menuju hotel untuk checkin dan setelah itu akan meeting dengan media lokal di studio mereka di Banjarbaru.

Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin
Perjalanan ke hotel cukup jauh dan setelah urusan checkin selesai, saya menghubungi media lokal tersebut untuk mengkonfirmasi serta menanyakan alamat lengkap studionya. Setelah saya berikan alamat tersebut ke pengemudi dan menanyakan jauh atau tidaknya, menurutnya studio itu berada di dekat bandara. Nah? Kalau begitu kenapa saya tadi dari bandara tidak langsung ke studio saja baru kemudian ke hotel?

Jadilah saya mengulangi perjalanan jauh tadi pulang-pergi dan malamnya gantian teman media lokal yang harus jauh-jauh datang ke hotel tempat saya menginap untuk makan malam dengan saya dan keesokan harinya datang lagi ke hotel untuk meeting yang ke dua.

Seandainya saja saya tahu bahwa bandara itu berada di Banjarbaru sekalipun namanya bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, tentunya akan lebih menghemat waktu dan tenaga apabila saya menginap di hotel yang lokasinya di Banjarbaru, karena kedatangan saya memang khusus untuk meeting dengan media ini.

Palangkaraya

Bisa dibilang tidak ada sesuatu yang istimewa di Palangkaraya selain meeting dengan teman-teman media lokal dan mengunjungi kantor cabang serta showroom Lejel Home Shopping. Business trip ke Pangkaraya hanya satu malam karena tidak banyak meeting.

Hari itu karena meeting pertama dijadualkan jam setengah sepuluh, maka jam sebelas meetingnya sudah selesai dan jadual meeting berikutnya adalah jam tiga siang. Daripada hanya duduk-duduk di hotel menunggu meeting berikutnya, saya menumpang kendaraan media lokal ke sebuah mall yang jaraknya hanya sekitar 1 kilometer. Rencana saya adalah makan siang dan sekitar jam 2 saya akan kembali ke hotel untuk meeting lagi.

Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya
Bangunan mall nya tidak terlalu besar, tetapi di dalamnya sepi. Banyak kios yang masih kosong dan mall-nya terkesan suram. Food court yang berada di lantai paling atas juga sepi, padahal ini adalah jam makan siang. Hanya ada beberapa penjual makanan dan karyawan-karyawannya hanya duduk bengong menanti pembeli.

Untuk amannya saya memilih KFC, dan ternyata KFC-nya pun tidak seperti yang saya bayangkan. Counternya sepi dan ayamnya tidak fresh seperti biasanya. Hanya ada 3 karyawan di KFC itu, dan ketika saya tanya mengapa ayamnya seperti ini, mereka mengatakan bahwa ayamnya tidak dimasak di sini, tetapi dikirim dari KFC di mall yang lain. Aneh.. Baru kali ini saya menemukan yang seperti ini.

Selesai makan siang yang tidak sukses dan karena tidak ada lagi yang bisa dilihat di mall tersebut, saya memutuskan untuk kembali ke hotel. Ternyata penderitaan saya belum selesai. Saat di lobby mall, saya menanyakan kepada satpam, dimana saya bisa dapat taksi, dan dijawab bahwa di palangkaraya tidak ada taksi kecuali taksi bandara. Kendaraan umum juga tidak ada yang lewat situ, dan tidak ada ojek.

Satpamnya menanyakan, dimana saya menginap dan setelah saya beritahukan nama hotelnya, dia menatap saya dengan heran kemudian berkata bahwa hotelnya dekat, kenapa saya bingung mencari kendaraan. Mungkin dekat bagi dia, tapi bagi saya yang akhirnya berjalan kaki ke hotel sejauh 1 kilometer dalam kondisi terik matahari jam 1 siang dan suhu berkisar 34°C, jarak ini rasanya jauh sekali dan sampai di hotel harus mandi karena saya basah kuyup berkeringat.