17 June, 2014

Timika

Kota selanjutnya di Papua yang saya kunjungi setelah Jayapura adalah Timika. Ada dua jadual meeting dengan media lokal di Timika.

Mengingat kota ini adalah 'milik Amerika', tidak mengherankan apabila bandaranya, walaupun kecil, bentuk dan suasananya tidak seperti bandara-bandara lain di Indonesia yang sudah pernah saya kunjungi. Lebih 'berbau luar negeri' kalau menurut saya.

Banyak bus besar berwarna kuning di bandara, yang menurut pengemudi mobil yang membawa saya ke hotel, adalah milik Freeport. Jendela bus diberi semacam tirai dari besi pada bagian luarnya, yang lagi-lagi menurut pengemudi saya untuk melindungi dari tembakan apabila terjadi serangan saat mereka di perjalanan. Serem juga membayangkannya.. seperti di film.

Bandara Mozes Kilangin, Timika
Hotel tempat saya menginap berada di tengah kota dan meeting pertama bertempat di hotel, sehingga saya baru berkesempatan untuk melihat lebih banyak kota Timika pada waktu menuju ke kantor TV lokal untuk meeting yang berikutnya. Kotanya kecil dan sepi, dan bangunannya rata-rata belum modern.

Pengemudi sempat menanyakan apakah setelah meeting, saya berminat untuk ke Tembagapura, melihat tambang. Pada mulanya saya tertarik, terlebih karena saya sering mendengar dan membaca soal eksplorasi berlebihan oleh Freeport dan merugikan bangsa Indonesia karena pembagiannya yang kecil.

Menurut pengemudi, tidak semua orang boleh memasuki areal itu, tetapi ia mempunyai koneksi aparat keamanan yang bisa membawa masuk dan mengawal kita. Tiba-tiba saya teringat bus kuning di bandara yang menggunakan tirai besi, sehingga saya menanyakan ke pengemudi, apakah aman untuk ke sana. Dia menjawab dengan tenang, mudah-mudahan tidak ada masalah dan sebaiknya kita tidak menempel ke jendela. Karena kejadian dua minggu sebelumnya ada yang tertembak hingga tewas karena duduk terlalu dekat ke jendela.

Dengan resiko seperti itu hanya untuk melihat tambang, saya lebih memilih untuk mengucapkan terima kasih atas tawarannya dan sebaiknya kembali saja ke hotel. Setidaknya baring-baring di kamar hotel sambil menonton acara televisi masih lebih baik daripada menjadi sasaran tembak.

Biak dan Jayapura

Perjalanan kali ini lumayan jauh, karena saya ada jadual meeting di Jayapura, Timika dan Denpasar. Penerbangan ke Jayapura akan transit di Makassar dan Biak, berangkat dari Jakarta pukul 11 malam dan tiba di Jayapura keesokan harinya pada pukul 7 pagi waktu setempat.

Biak

Bandara Frans Kaisiepo, Biak
Pesawat mendarat untuk transit di Biak pada dini hari, setelah sebelumnya transit selama satu jam di Makassar. Seperti halnya di Makassar, saya menggunakan kesempatan transit ini untuk turun dari pesawat, meluruskan kaki, sekaligus merokok dan memesan secangkir kopi.

Transit juga memberi kesempatan untuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan bahwa saya sudah sampai Biak, walaupun hanya sekedar transit. Karena satu dan lain hal, jadual transit yang semula hanya satu jam diperpanjang selama 30 menit. Tidak menjadi masalah, karena itu berarti saya bisa lebih santai menikmati kopi saya dan menambah satu-dua batang rokok. Ditambah lagi, jadual meeting di Jayapura adalah jam 2 siang.


Jayapura

Akhirnya perjalanan panjang dari Jakarta berakhir sudah. Pesawat mendarat di Jayapura. Sentani untuk lebih tepatnya, karena bandaranya berada di Sentani, luar kota Jayapura. Tidak seperti di Sorong, terminal kedatangannya besar dan bagus. Baru saja di renovasi nampaknya. Tetapi bagian depan bandara masih belum selesai di renovasi.

Bandara Sentani, Jayapura
Hal pertama yang saya temui saat menunggu giliran mendapatkan kendaraan ke kota Jayapura adalah banyak tulisan "Dilarang makan pinang". Rupanya kebiasaan penduduk setempat adalah mengunyah pinang dan kemudian meludahkannya, sehingga untuk menjaga kebersihan maka dipasanglah tulisan-tulisan itu. Tetapi masih banyak sekali bekas kunyahan pinang yang berwarna merah itu di jalanan depan area terminal.

Perjalanan menuju Jayapura melewati Danau Sentani yang luas dan indah pemandangannya. Saya tidak terlalu lama menikmatinya karena masih mengantuk setelah perjalanan semalam, sehingga tertidur dan baru bangun pada waktu mobil tiba di hotel.

Tidak banyak yang saya lihat di Jayapura, karena jadual meeting semuanya dilakukan di hotel dan kebetulan kantor cabang serta showroom Lejel Home Shopping yang selalu masuk di jadual untuk dikunjungi berada tepat di sebelah hotel.

Pemandangan di belakang hotel juga sangat indah karena hotel berada di tepi laut. Airnya jernih sekali, mungkin karena di sekitar situ tidak ada pabrik atau industri. Sayangnya saya hanya semalam di Jayapura dan keesokan harinya pukul 5 pagi, saya sudah berangkat menuju bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Timika.

Sorong


Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bumi Papua, Sorong adalah kota pertama, dan pada waktu itu rencana ke Sorong harus direvisi beberapa kali, karena tidak setiap hari ada jadual penerbangan yang sesuai dengan tanggal meeting saya di tiap kota, khususnya penerbangan dari dan ke Sorong, baik itu masuk Sorong dari Manado dan keluar ke Makassar, ataupun sebaliknya.

Bandara Domine Eduard Osok, Sorong
Jadual meeting saya kali ini adalah di Manado, Sorong, Makassar dan Ambon. Apabila salah menjadualkan penerbangan, rutenya akan menjadi semakin jauh, atau saya harus tinggal di satu kota lebih lama dari yang saya perlukan. Biaya bisa membengkak dan saya kelelahan. Jadi rute yang paling efisien adalah dari Jakarta ke Manado, dilanjut ke Sorong, kemudian ke Makasar, dilanjut lagi ke Ambon dan kembali lagi ke Jakarta.

Di Manado, dari pembicaraan dengan teman-teman media setempat, saya mendapat info bahwa sebelum ke Papua sebaiknya kita mendapatkan vaksin anti Malaria karena besar kemungkinan bisa terjangkit Malaria. Setelah saya ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa apabila di vaksin pagi itu dan siangnya saya sudah ke Sorong, vaksinnya belum efektif mencegah Malaria. Diperlukan setidaknya beberapa hari setelah vaksin, sebelum vaksin itu efektif mencegah Malaria. Jalan satu-satunya adalah minum pil kina 1 kali sehari selama seminggu lebih. Jadilah saya mulai hari itu hingga hampir dua minggu sesudahnya minum pil kina setiap hari.

Tiba di Sorong, saya mendapat pengalaman baru di bandara. Terminalnya kedatangannya kecil, mungkin hanya sebesar aula sekolah. Begitu kami turun dari bus yang membawa kami dari pesawat dan memasuki terminal kedatangan, pintu kemudian ditutup dan dikunci dari luar. Ruang kedatangan tidak dilengkapi AC, sehingga udaranya pengap dan maaf, bercampur aroma keringat porter-porter di sana.

Gedung terminal kedatangan, bandara Sorong
Saya mencari-cari conveyor belt untuk mengambil bagasi, tetapi tidak menemukannya, sehingga akhirnya saya bertanya kepada salah satu porter, dimana saya bisa mengambil bagasi saya. Dia hanya menjawab "Tunggu saja Pak, sebentar lagi".

Dan benar juga, tidak lama kemudian ada jendela kecil terbuka dan salah satu petugas yang berdiri di depannya menerima koper dari luar, satu persatu, kemudian meneriakkan nomer tag bagasi. Pemilik bagasi maju satu per satu bila nomernya disebutkan, menunjukkan tag bagasi, mengambil barangnya, kemudian meninggalkan ruang kedatangan itu.

Saat akhirnya menerima bagasi, saya sudah lumayan mabok bau badan dan buru-buru keluar dari ruang kedatangan untuk mencari udara segar.

16 June, 2014

Ambon

Kejadian kurangnya pemahaman geografi terulang lagi di Ambon saat pertama kalinya saya melakukan business trip ke sana.
Bandara Internasional Pattimura, Ambon

Dari Info yang saya dapat, hanya ada dua hotel ber-merek, yaitu Aston dan Swiss-bel. Dengan pertimbangan untuk memudahkan perjalanan dari hotel ke Bandara saat kami kembali ke Jakarta, mengingat penerbangannya pada jam 7 pagi, saya memilih hotel yang jaraknya lebih dekat ke bandara.

Pilihan jatuh pada Hotel Aston Natsepa, yang ternyata lokasinya sangat jauh dari kota Ambon, tempat Swiss-bel yang lokasinya di tengah kota. Hal ini baru saya ketahui saat teman-teman media lokal saya telepon untuk konfirmasi jadual meeting di hotel tempat saya menginap. Saat saya sampaikan bahwa saya menginap di Aston Natsepa, mereka bilang 'Wah.. kenapa jauh sekali Pak menginapnya?'

Saat menunggu kedatangan teman-teman media, saya sempatkan untuk melihat peta Ambon di lobby hotel, dan barulah saya tahu kesalahan saya. Jarak dari Bandara ke Swiss-bel di tengah kota memang jauhnya lebih dari sepuluh kilometer dibandingkan dari Bandara ke Aston Natsepa. Masalahnya adalah, posisi kota ada di sebelah kanan apabila dari arah bandara, sedangkan Natsepa ada di sebelah kiri. Jadi apabila dari Natsepa hendak ke kota, jaraknya jauh sekali. Saya mengira, Aston Natsepa Ambon, seperti namanya, berada di kota Ambon. Ternyata maksudnya adalah pulau Ambon.

Kupang

Saya akhirnya berkesempatan juga berkunjung ke Kupang, setelah sebelumnya hanya banyak mendengar bahwa separuh pulaunya saat ini sudah bukan milik Indonesia lagi, sehingga bila dilihat di peta, ada 'luar negeri' di dalam Indonesia. Kita memang berbagi pulau dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei serta Papua New Guinea, tetapi bagian dari negara-negara itu ada di 'sebelah luar', sementara Timor Leste berada di 'sebelah dalam'.

Bandara El Tari, Kupang
Perjalanan dari Bandara ke kota tidak terlalu jauh, dan karena pulaunya yang berbukit, beberapa kali saya dapat melihat pemandangan pantai dan laut yang indah. Hotel saya terletak di pinggir pantai dan yang menggembirakan adalah di seberang hotel terdapat depot yang menjual makanan favorit saya - Soto Madura.

Rasa sotonya sama dengan yang di Surabaya, tidak seperti beberapa Soto Madura di Jakarta yang rasanya sudah agak berbeda. Setahu saya, walaupun namanya Soto Madura, tetapi justru soto ini tidak ada di Madura. Surabaya yang menjadi pusatnya.

Sayangnya, saya hanya akan tinggal semalam saja di Kupang, lagi-lagi karena hanya ada dua meeting dengan media setempat dan meninjau cabang serta showroom Lejel Home Shopping.

Ternate

Penerbangan ke Ternate berasa lama karena berangkat dari Jakarta pada malam hari dan tiba di Ternate pada pagi hari. Tidak seperti pada waktu kunjungan saya ke Ternate untuk pertama kalinya, kali ini saya merasakan bandara baru di Ternate. Bagus dan cukup megah.

Bandara Sultan Babullah, Ternate
Hanya ada satu hotel berbintang di Ternate, dan di sanalah saya menginap. Bangunan hotelnya megah, tetapi bagian dalam dan fasilitasnya tidak terawat. "Gangguan dari dunia lain", seperti hal-nya saat saya di Jambi, terjadi beberapa kali dalam semalam. Secara keseluruhan service-nya agak kurang.

Apabila biasanya saya ada masalah dengan pelajaran geografi, saat ini pelajaran ilmu pengetahuan saya juga terbukti masih kurang. Saya memperhatikan di lobby hotel yang menghadap ke laut dan terlihat ada dua pulau di seberang, diletakkan gambar uang kertas pecahan seribu rupiah dengan ukuran cukup besar. Demikian pula pada waktu saya makan malam dengan teman-teman media lokal, gambar itu ada lagi dan juga di beberapa tempat saya kunjungi, memasang gambar itu. Saya berpikir, kalaupun senang memasang gambar uang, kenapa uang seribu? Kenapa bukan uang seratus ribu?

Pulau Tidore, dilihat dari lobby hotel
Keesokan harinya saat check-out, saya menanyakan kepada petugas reception soal hobby warga Ternate memasang gambar uang seribu. Dijawab oleh petugas reception, bahwa di uang seribu khan ada gambar pulaunya, dan pulau itu adalah pulau Tidore. Saya tanyakan lagi, lalu apa hubungannya dipasang di Ternate? Apakah pulaunya dekat sini? Dijawablah oleh petugas itu sambil menunjukkan bahwa pulau besar di seberang laut, di depan hotel, adalah pulau Tidore. Sambil memperhatikan lagi gambar uang itu, barulah saya tahu bahwa apabila memandang dari lobby hotel, pemandangannya persis seperti gambar di uang seribu itu.

Kendari

Bandara Haluoleo, Kendari
Walaupun tidak sejauh jarak bandara Gorontalo ke kota, tetapi jarak bandara Kendari ke kota juga tidak bisa dibilang dekat. Kotanya kecil dan sepi, mengingatkan saya pada kota Palu, lengkap dengan jalan raya di pinggir pantainya.

Saya menginap semalam di Kendari, karena hanya ada dua meeting dengan media lokal dan sisa waktunya hanya untuk melihat-lihat kota Kendari untuk memperkirakan kemungkinan membuka cabang dan showroom di sini.

Setelah menyelesaikan dua meeting di siang hari, malam harinya bersama teman-teman dari media lokal setelah selesai makan malam, kami mencoba minuman khas daerah ini, yaitu Saraba, sambil duduk di tepi pantai. Rasa minumannya seperti kopi susu dan jahe. Lumayan hangat dan mampu mencegah masuk angin akibat duduk malam-malam di tepi pantai.

Naik pesawat sambil memakai helm
Ada hal lucu dan unik pada perjalanan ke Kendari ini, tepatnya saat sedang boarding pesawat di Makassar. Saya yang saat itu pergi dengan sahabat saya John, sudah duduk manis di pesawat, sementara banyak penumpang yang masih berdiri, memasukkan barang ke kompartemen bagasi di atas dan berjalan menuju kursinya. Tiba-tiba ada pemandangan yang aneh, seorang pria berumur berdiri di lorong pesawat, antre untuk jalan ke kursinya, sambil memakai helm untuk naik motor. Tidak jelas apa maunya dan apa yang terjadi, tetapi sepanjang penerbangan, helm tersebut tetap dipakai, dan baru dilepas justru pada saat pesawat sudah mendarat dan dia sudah turun dari pesawat. Mungkin saja beliau dulu adalah penerbang pesawat tempur, sehingga terbiasa mengenakan helm di pesawat. Saya dan John menamai Bapak itu "Mr. Helmet".

Manado

Bandara Sam Ratulangi, Manado
Tempat yang menarik untuk dikunjungi. Manado adalah satu kota yang ingin saya kunjungi di awal-awal business trip saya.

Ada pemandangan unik di sepanjang jalan di kota Manado pada bulan Desember, saat saya melakukan business trip. Baru kali ini saya melihat ada kota di Indonesia yang banyak warganya memasang pohon natal di depan rumahnya, tepatnya di pinggir jalan, lengkap dengan hiasan dan lampunya.

Jadinya meriah dan suasana Natal menjadi semakin terasa. Masih ditambah lagi dengan adanya Pohon Natal raksasa di kawasan Megamas dan ada SPBU yang petugasnya memakai topi Sinterklas.

Monumen Yesus Memberkti, Manado
Hari pertama di Manado saya gunakan untuk meeting dengan beberapa media lokal, dan keesokan harinya saya ke Tomohon dan Tondano untuk meeting dengan media lokal di sana. Saya berkesempatan menikmati pemandangan di tepi danau Tondano. Udaranya sejuk, karena berada di ketinggian 600m dari permukaan laut, dan danaunya sangat luas, sekitar 4,2 hektar.

Hari terakhir di Manado, setelah breakfast dengan teman-teman media, saya berangkat ke bandara lebih awal, karena saya  mampir terlebih dahulu ke monumen 'Yesus Memberkati', yang adalah patung Yesus tertinggi kedua di dunia setelah Patung Yesus 'Cristo Redentor' di Rio de Janeiro, Brasil.

Sampai saat ini, seingat saya, sudah lebih dari lima kali saya berkunjung ke Manado.

Gorontalo

Seperti halnya Banjarmasin, kota Gorontalo juga jauh sekali jaraknya dengan bandara. Bedanya adalah bila di Banjarmasin perjalannya melalui deretan gedung-gedung, maka di Gorontalo perjalanannya benar-benar seperti tamasya ke luar kota. Sebagian besar yang kami lewati adalah daerah persawahan, sehingga perjalannya benar-benar berasa jauh.

Pada waktu saya ke Gorontalo untuk pertama kalinya, sekitar tahun 2011 hanya ada satu hotel berbintang dan dari petugas reception, saya baru tahu bahwa di kota ini tidak ada mall. Sedang dalam pembangunan.

Bandara Djalaluddin, Gorontalo
Saya yang pada waktu itu kebetulan membutuhkan pakaian baru, karena dari rencana business trip yang semula hanya tiga hari, diperpanjang hingga sudah hari ke lima dan nampaknya masih harus ditambah beberapa hari lagi.

Akhirnya saya memutuskan me-laundry beberapa pakaian, setidaknya untuk saya pakai sampai dengan saya kembali ke Makassar besok paginya, karena dengan ketidak-adaan mall, maka tempat membeli pakaian di dekat hotel yang direkomendasikan oleh petugas reception, adalah sebuah pasar malam kaki lima. Bukan masalah gengsi untuk beli pakaian dalam, jeans dan kemeja atau polo shirt serta kaos kaki di pasar malam, dan bukannya saya tidak coba untuk melihat pasar malamnya, tetapi memang model, bahan dan mereknya amat sangat tidak sesuai, dan.. ya.. memang ada gengsi, walaupun tidak 100%.. hanya sekitar 90%..

Kunjungan saya terakhir kalinya ke Gorontalo adalah bulan Desember tahun lalu, dan saya sudah menginap di hotel yang baru. Hotelnya bagus dan menjadi satu dengan mall yang cukup besar.

Palu

Ada yang unik pada waktu pesawat yang membawa saya mendarat di Bandara Mutiara, Palu. Saat itu hujan cukup deras dan bandara tidak dilengkapi Garbarata, karena memang bandaranya kacil.
Bandara Mutiara, Palu

Sampai dengan pesawat berhenti, melalui jendela pesawat tidak terlihat ada bus yang mendekati untuk membawa kami ke gedung terminal. Ternyata saat menuruni tangga pesawat, saya melihat petugas bandara di ujung tangga, berdiri disamping sebuah drum yang dipenuhi payung. Dia membagikan payung satu per satu kepada penumpang yang kemudian berjalan sambil perpayung ke terminal kedatangan. Lucu juga melihat barisan berpayung dan saya menjadi bagian dari barisan berpayung itu.

Kota Palu, sekalipun adalah ibukota propinsi, adalah kota kecil dan tenang. Tidak ada kemacetan dan tidak banyak traffic light. Hanya ada 2 traffic light sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, dan di perjalanan menuju hotel, kami menyusuri tepi pantai. Pemandangan yang indah karena saya menyukai pantai dan kurang menyukai pemandangan pegunungan.

Sulteng Pos, berdiri paling kiri adalah almarhum John
Setelah menyelesaikan dua meeting dengan media lokal pada siang harinya, malam harinya saya datang memenuhi undangan makan malam dari teman-teman media lokal. Seafood lagi, dan saya memang tidak pernah bosan dengan seafood. Setelah selesai makan malam, mereka mengajak saya untuk menikmati kopi di cafe Excelso yang letaknya di perjalanan menuju hotel.

Saya sempat muncul di koran lokal Palu pada edisi keesokan paginya, karena pemilik salah satu TV lokal yang hadir malam itu, juga adalah pemilik koran tersebut. Beliau datang pagi hari saat breakfast dan memberikan korannya kepada saya. Memang malam itu kami sempat berfoto bersama-sama, tetapi saya mengira fotonya hanya untuk kenang-kenangan.

13 June, 2014

Makassar

Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar
Salah satu kota yang cukup sering saya kunjungi dalam rangka business trip adalah kota Makassar, karena kota ini menjadi gerbang untuk kunjungan saya ke kota-kota lainnya di Sulawesi dan Indonesia bagian timur.

Bila di Kalimantan menu utamanya adalah Kepiting, maka menu ikan bakar adalah menu wajib pada setiap kunjungan saya di  Sulawesi. Bukan cuman ikan, tetapi juga cumi bakar, karena saya juga penggemar cumi.

Berdasarkan info yang saya terima, ada masakan khas Makassar selain Konro, yaitu Nyuk-Nyang, yang setelah saya tanyakan kepada teman media di sana ternyata adalah Bakwan, kemudian Jalang Kotek yang ternyata adalah Pastel dan Otak-otak. Yang terakhir ini memang benar-benar enak.

Pantai Losari, Makassar
Saya sudah menyempatkan untuk mampir di Pantai Losari, yang setelah saya cari-cari tetap tidak menemukan pantainya, kecuali papan namanya, karena yang ada di benak saya tentang pantai adalah hamparan pasir putih menuju laut. Menurut saya, Pantai Losari hanya seperti di pinggir danau.

Tempat lain yang saya kunjungi adalah lokasi pembangunan mega proyek "Center Point of Indonesia", konon dinamakan seperti ini karena letaknya tepat di tengah-tengah indonesia, antara Barat ke Timur dan Utara ke Selatan. Titik Nol-nya Indonesia.

Balikpapan dan Samarinda

Balikpapan 

Bandara Sepinggan, Balikpapan
Ini adalah kota pertama di luar pulau Jawa, Bali dan Madura yang saya kunjungi. Business trip pertama saya adalah ke Balikpapan dan kemudian Samarinda. Sekarang sudah lebih dari empat kali saya ke Balikpapan.

Awal-awal dulu setiap ke Balikpapan, saya selalu menginap di Jatra, karena hotelnya bagus dan yang lebih penting adalah lokasinya di Balikpapan Superblok, yang menjadi satu dengan mall yang besar. Masih ditambah dengan lokasi kantor cabang dan showroom Lejel Home Shopping yang juga berada di kompleks yang sama.

Sekarang saya lebih memilih untuk menginap di Hakaya Hotel karena letaknya yang jadi satu dengan Bandara, tinggal turun eskalator, sudah bisa langsung ke checkin area bandara. Juga karena kantor cabang serta showroom Lejel sudah pindah, tidak lagi di Balikpapan Superblok.

Biasanya, business trip ke Balikpapan selalu disambung dengan business trip ke Tarakan, karena sudah dekat, jadi bisa sekali jalan. Rute ini saya namakan rute kolesterol tinggi, karena di Balikpapan dan Tarakan selalu menunya Kepiting Kenari. Kalau rutenya semalam di Balikpapan dan semalam di Tarakan, maka 2 hari berturut-turut menunya Kepiting. Pusing ya pusing deh, tapi worth it.


Samarinda

Bukit Soeharto, Samarinda
Saya sudah beberapa kali ke Samarinda, tetapi belum pernah menginap di kota ini. Selalu berangkat pagi dari Balikpapan, kemudian meeting di Samarinda dan kembali lagi ke Balikpapan pada sore harinya.

Perjalanan menuju ke Samarinda cukup melelahkan, berkisar dua setengah hingga hampir tiga jam. Kalau dua jam setengah di Jakarta, mungkin hanya sekitar 15-20 kilometer. Tetapi kalau di luar pulau, sudah jauh sekali.

Perjalanan ini melintasi Bukit Soeharto, dan karena posisinya, handphone selalu tidak mendapat signal sama sekali. Tiga handphone saya dengan tiga operator yang berbeda - Telkomsel, Indosat dan XL, kompakan no service.

Selain meeting dengan media lokal, saya hanya sempat makan siang dan mampir di Masjid Agung Samarinda. Lain waktu, saya akan menginap di Samarinda supaya bisa berkesempatan untuk melihat-lihat lebih banyak.

Banjarmasin

Dikarenakan kurangnya pengetahuan saya tentang geografi, mungkin saya sedang bolos sewaktu diterangkan di sekolah dulu, saya menghabiskan banyak waktu di jalan saat saya melakukan business trip di Banjarmasin untuk pertama kalinya.

Saya sudah booking di "A" Hotel Banjarmasin, dan setibanya saya di bandara, saya langsung menuju hotel untuk checkin dan setelah itu akan meeting dengan media lokal di studio mereka di Banjarbaru.

Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin
Perjalanan ke hotel cukup jauh dan setelah urusan checkin selesai, saya menghubungi media lokal tersebut untuk mengkonfirmasi serta menanyakan alamat lengkap studionya. Setelah saya berikan alamat tersebut ke pengemudi dan menanyakan jauh atau tidaknya, menurutnya studio itu berada di dekat bandara. Nah? Kalau begitu kenapa saya tadi dari bandara tidak langsung ke studio saja baru kemudian ke hotel?

Jadilah saya mengulangi perjalanan jauh tadi pulang-pergi dan malamnya gantian teman media lokal yang harus jauh-jauh datang ke hotel tempat saya menginap untuk makan malam dengan saya dan keesokan harinya datang lagi ke hotel untuk meeting yang ke dua.

Seandainya saja saya tahu bahwa bandara itu berada di Banjarbaru sekalipun namanya bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, tentunya akan lebih menghemat waktu dan tenaga apabila saya menginap di hotel yang lokasinya di Banjarbaru, karena kedatangan saya memang khusus untuk meeting dengan media ini.

Palangkaraya

Bisa dibilang tidak ada sesuatu yang istimewa di Palangkaraya selain meeting dengan teman-teman media lokal dan mengunjungi kantor cabang serta showroom Lejel Home Shopping. Business trip ke Pangkaraya hanya satu malam karena tidak banyak meeting.

Hari itu karena meeting pertama dijadualkan jam setengah sepuluh, maka jam sebelas meetingnya sudah selesai dan jadual meeting berikutnya adalah jam tiga siang. Daripada hanya duduk-duduk di hotel menunggu meeting berikutnya, saya menumpang kendaraan media lokal ke sebuah mall yang jaraknya hanya sekitar 1 kilometer. Rencana saya adalah makan siang dan sekitar jam 2 saya akan kembali ke hotel untuk meeting lagi.

Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya
Bangunan mall nya tidak terlalu besar, tetapi di dalamnya sepi. Banyak kios yang masih kosong dan mall-nya terkesan suram. Food court yang berada di lantai paling atas juga sepi, padahal ini adalah jam makan siang. Hanya ada beberapa penjual makanan dan karyawan-karyawannya hanya duduk bengong menanti pembeli.

Untuk amannya saya memilih KFC, dan ternyata KFC-nya pun tidak seperti yang saya bayangkan. Counternya sepi dan ayamnya tidak fresh seperti biasanya. Hanya ada 3 karyawan di KFC itu, dan ketika saya tanya mengapa ayamnya seperti ini, mereka mengatakan bahwa ayamnya tidak dimasak di sini, tetapi dikirim dari KFC di mall yang lain. Aneh.. Baru kali ini saya menemukan yang seperti ini.

Selesai makan siang yang tidak sukses dan karena tidak ada lagi yang bisa dilihat di mall tersebut, saya memutuskan untuk kembali ke hotel. Ternyata penderitaan saya belum selesai. Saat di lobby mall, saya menanyakan kepada satpam, dimana saya bisa dapat taksi, dan dijawab bahwa di palangkaraya tidak ada taksi kecuali taksi bandara. Kendaraan umum juga tidak ada yang lewat situ, dan tidak ada ojek.

Satpamnya menanyakan, dimana saya menginap dan setelah saya beritahukan nama hotelnya, dia menatap saya dengan heran kemudian berkata bahwa hotelnya dekat, kenapa saya bingung mencari kendaraan. Mungkin dekat bagi dia, tapi bagi saya yang akhirnya berjalan kaki ke hotel sejauh 1 kilometer dalam kondisi terik matahari jam 1 siang dan suhu berkisar 34°C, jarak ini rasanya jauh sekali dan sampai di hotel harus mandi karena saya basah kuyup berkeringat.

Tarakan

Lagi-lagi pengetahuan Geografi saya terbukti kurang baik. Setelah mendarat di Tarakan dan dijemput oleh kawan-kawan dari media lokal, kami mampir untuk makan siang sebelum menuju ke hotel tempat saya akan menginap. Saat turun dari mobil, kami langsung masuk ke rumah makan, dan saya menyadari bahwa pintu mobil belum dikunci.

Bandara Internasional Juwata, Tarakan
Saya mengingatkan bahwa mobil belum dikunci, tetapi mereka dengan santainya mengatakan bahwa tidak akan ada yang mencuri mobilnya. Kalaupun sampai ada yang mencuri, pencurinya juga tidak bisa kabur kemana-mana, karena di Tarakan ini semua saling mengenal.

Saya tanyakan, bagaimana kalau mobilnya  dibawa ke kota lain, sampai ke Samarinda misalnya. Jawab mereka, kalau mau dibawa ke kota lain, harus menyeberang dulu dengan kapal, dan karena Tarakan ini kecil, sebelum menyeberang juga pasti sudah tertangkap.

Masih penasaran, saya tanyakan lagi, bagaimana kalau pencurinya lewat jembatan. Dengan bingung, mereka mengatakan bahwa tidak ada jembatan yang menghubungkan pulau Tarakan dengan pulau Kalimantan. Nah, sekarang giliran saya yang bingung karena saya baru tahu bahwa Tarakan ini ternyata pulau tersendiri dan bukannya kota di pulau utama. Soalnya kalau di peta, kelihatannya menyambung sih..

Pontianak

Bandara Supadio, Pontianak
Sudah lama saya bercita-cita untuk bisa melihat Tugu Khatulistiwa, dan akhirnya cita-cita itu tercapai pada waktu saya berkesempatan business trip ke Pontianak.

Mengutip situs "Wonderful Indonesia", disebutkan bahwa Pontianak merupakan satu-satunya kota di dunia yang duduk tepat di bawah garis imajiner atau garis lintang 0°, yang disebut garis khatulistiwa yang memisahkan belahan Bumi utara dan belahan Bumi selatan.

Saya tiba di Pontianak dengan disambut oleh cuaca yang sangat terik. Suhu udara mencapai 36°C . Karena jadual meeting pertama adalah pukul 7 malam, saya yang kebetulan dijemput oleh teman media lokal, langsung menuju ke Tugu Khatulistiwa.

Sebenarnya saya akan tinggal di Pontianak selama 2 malam, tetapi esoknya sudah penuh dengan jadual meeting serta berkunjung ke kantor cabang Lejel dan hari berikutnya saya akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan pukul 11 pagi, sehingga tidak akan sempat ke Tugu Khatulistiwa. Jadi hanya sekaranglah saatnya.

Tugu Khatulistiwa, Pontianak
Tiba di Tugu Khatulistiwa, saya masuk dan mengambil beberapa foto, diantaranya foto saat berdiri di atas tanda garis Khatulistiwa sehingga kaki kiri saya berada di belahan bumi utara, sementara kaki kanan saya berada di belahan bumi selatan. Saya berdiri di dua belahan dunia pada saat yang bersamaan.

Keesokan harinya saya berkesempatan mengunjungi mall yang menurut warga Pontianak adalah yang terbesar & paling ramai di Pontianak. Kebetulan salah satu teman media lokal mengajak meeting sambil ngopi di Excelso. Mall nya hanya sekitar 100-200 meter di sebelah kiri hotel tempat saya menginap. Kantor cabang dan showroom Lejel Home Shopping juga berada di kompleks mall ini.

12 June, 2014

Lampung

Business trip ke kota ini cukup lucu bagi saya. Perjalanan ke bandara Soekarno-Hatta memakan waktu hampir 2 jam, menunggu boarding sekitar 1,5 jam, tetapi penerbangannya hanya 40 menit.
Bandara Radin Inten II, Lampung

Saya menginap dua malam di kota ini, dengan jadual meeting yang cukup padat dan masih ditambah dengan kewajiban mengunjungi kantor cabang serta showroom Lejel.

Lalu lintas sepanjang perjalanan dari bandara Radin Inten II ke kota Bandar Lampung lumayan padat dan didominasi kendaraan besar. Bisa dimaklumi karena Lampung adalah gerbang masuk pulau Sumatera dari pulau Jawa.

Kotanya sederhana, tetapi terasa "hidup", dan hotel tempat saya menginap berada di pusat kota, dekat dengan pusat perbelanjaan dan banyak penjual makanan di sekitarnya.

Bengkulu

Fort Marlborough, Bengkulu
Kunjungan dua hari dan satu malam di Bengkulu, tiga jadual meeting dengan media lokal dan kewajiban mengunjungi kantor cabang serta showroom Lejel di kota ini menjadi tujuan business trip kali ini.

Kotanya sepi, terlalu sepi menurut saya, tidak ada kemacetan seperti Jakarta tentunya. Perjalanannya lancar dari satu tempat meeting ke tempat meeting lainnya..

Keesokan harinya sebelum ke bandara, saya menyempatkan untuk mampir di tempat-tempat bersejarah, seperti Fort Marlborough dan rumah kediaman Bung Karno pada waktu diasingkan di Bengkulu.

Rumah kediaman Bung Karno, Bengkulu
Saya sempat menaiki bangunan Fort Marlborough dan menikmati pemandangan laut dari atasnya, tetapi sayangnya saya tidak sempat masuk ke rumah kediaman Bung Karno. Hanya berhenti di depannya dan mengambil beberapa foto, karena jadual penerbangan saya untuk ke kota berikutnya sudah dekat.


Palembang

Bandara Sultan Mahmud Badaruddin, Palembang
Seperti pernah saya singgung pada posting saya sebelumnya, almarhumah nenek saya orang Palembang. Karena itu saya excited untuk melihat seperti apa kota Palembang. Konon orang Palembang kaya-kaya, karena setiap hari memproduksi ratusan, bahkan ribuan kapal selam.

Amerika saja tidak sebanyak itu memproduksi kapal selam dalam 10 tahun. Hanya bedanya, yang diproduksi Amerika adalah kapal selam nuklir, sedangkan di Palembang adalah Pempek kapal selam.

Selagi di Palembang, saya puas-puaskan makan pempek. Breakfast, lunch, dinner, menunya pempek. Lenggang, lenjer, adaan, kapal selam, kapal ferry, kapal keruk,.. pempek memang salah satu makanan terfavorit saya.

Jembatan Ampera, Plembang
Diantara meeting-meeting dengan media lokal dan mengunjungi kantor cabang Lejel, saya juga menyempatkan untuk keliling kota Palembang, melintasi jembatan Ampera di atas sungai Musi dan beberapa tempat lainnya, termasuk menikmati kopi di mall.

Semalam rasanya kurang. Sebenarnya saya masih ingin tinggal satu malam lagi, tetapi jadual business trip masih panjang. Masih ada lain kali tentunya, saya akan ke Palembang lagi.

Pangkal Pinang

Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka
Bagi saya, ada yang istimewa di Pangkal Pinang. Almarhumah nenek saya adalah orang Palembang, tetapi lahir di Koba, sekitar 60 kilometer dari Pangkal Pinang. Saya sempatkan mengunjungi Koba, sekedar ingin tahu tempat kelahiran beliau. Walaupun saya tidak tahu tempat pastinya, asalkan sudah pernah mengunjungi daerahnya, bagi saya sudah cukup.

Ada satu kenangan di Pangkal Pinang. Pada waktu itu, awal-awal bekerja di Lejel, setiap business trip, saya selalu pergi bersama sahabat saya - John. Dia warga negara Korea, nama aslinya Sin Jung Ho, tetapi sudah lama tinggal di Indonesia. Bahasa Indonesia-nya sudah sangat fasih dan dia memahami budaya Indonesia.

Malam itu, setelah selesai makan malam, John berkata kepada saya bahwa dadanya sesak dan sulit bernafas. Saya tahu, John memang menderita asma. Saya tawarkan, apakah mau saya antar ke rumah sakit, dan dia bilang iya, agar sekaligus bisa memeriksakan kaki kanan saya yang bengkak karena terkilir di bandara saat kita tiba tadi siang.

John menunggu penanganan di Rumah Sakit
Dengan menyewa kendaraan hotel, malam itu kami berdua ke rumah sakit. Di UGD RS. Bakti Timah, John dirawat dengan diberi oksigen, sementara saya hanya mendapat salep serta harus menggunakan perban elastis untuk kaki saya yang lumayan bengkaknya.

Semuanya berakhir dengan baik pada malam itu, bahkan kami masih sempat terbang ke beberapa kota lainnya sebelum kembali ke Jakarta.

Saya menyebutnya sebuah kenangan karena beberapa bulan kemudian, sahabat saya John, meninggal dunia karena serangan jantung saat saya sedang melakukan business trip ke Kendari.


Medan

Selain chinese food-nya yang menurut saya enak banget, Medan terkesan biasa saja untuk saya. Sama seperti kota besar lainnya di Indonesia. 
Bandara Polonia, Medan

Setelah meeting dengan beberapa media lokal dan mengunjungi cabang Lejel Home Shopping, saya sempatkan untuk refreshing ke mall. Sekedar cuci mata dan menikmati kopi di Excelso sambil ngobrol-ngobrol dengan teman-teman media.

Saya berharap bisa segera ke Medan lagi karena saya belum pernah mendarat di Bandara baru - Kualanamu. Kelihatannya seru karena bisa naik kereta api dari Medan ke bandara tersebut.

10 June, 2014

Jambi

Yang paling saya ingat tentang Jambi adalah hotelnya. Pada kunjungan saya ke Jambi untuk pertama kalinya, karena hasil searching saya di internet gagal menemukan hotel ber-merek di sana, akhirnya saya minta rekomendasi dari teman-teman media di Jambi.

Bandara Sultan Thaha, Jambi
Sesuai rekomendasi, saya menginap di hotel tersebut. Mungkin hanya perasaan saya sendiri, tetapi saya "merasa ada yang aneh" di kamar saya dan tidur saya sangat tidak nyenyak.

Pada kunjungan berikutnya ke Jambi, saya memilih hotel yang lain, dan hotel ini adalah mantan hotel ber-merek, tadinya dioperasikan oleh Chain Hotel yang terkenal. 

Sayangnya hotel ini tidak terawat lagi. Langit-langit di lorong hotel menuju kamar banyak bercak bekas air, bahkan berlubang yang di dekat pintu kamar saya. Kondisi kamar dan kamar mandinya juga kusam. Bila di hotel sebelumnya saya "merasa ada yang aneh" di kamar, di hotel ini saya "melihat yang aneh itu" di kamar saya, berkeliaran di bagian kaki tempat tidur.

Saya tidak tahu apakah ada pilihan lain bagi saya untuk kunjungan saya berikutnya ke Jambi.

Batam dan Tanjung Pinang

 

Batam

Bandara Hang Nadim, Batam
Dari berita-berita yang selama ini saya dengar, Batam adalah calon Singapore-nya Indonesia. Saat akhirnya saya melihat Batam secara langsung, saya berpendapat bahwa Batam adalah mantan calon Singapore-nya Indonesia. Mengapa demikian? Karena terlihat bagian-bagian tertentu dari pulau ini yang seperti Singapore, salah satunya adalah jalan raya dari Bandara ke pusat kota.

Menurut teman media yang menjemput saya, pada waktu masih dikelola oleh Otorita Batam, arah pembangunan atau master plannya memang jelas. Tetapi saat ini, Batam sudah tidak lebih dari kota-kota lain di Indonesia pada umumnya. Kalaupun masih ada "Singapore-Singapore-nya", bisa jadi karena memang posisinya dekat dari Singapore, tiket ferry ke Singapore yang tidak mahal dan banyak serta seringnya warga Singapore ke Batam, sehingga Batam jadi ter-influence.


Tanjung Pinang

Keesokan harinya saya menyeberang ke Tanjung Pinang dengan menggunakan ferry kecil. Saya mendapat undangan untuk berkunjung ke studio salah satu media di Tanjung Pinang dan makan siang di sana.

Pelabuhan Tanjung Pinang
Saya menyempatkan untuk berkeliling kota Tanjung Pinang setelah selesai berkunjung dan meeting di studio, yang dilanjutkan dengan makan siang.

Salah satu menu yang dipesan adalah Gonggong. Bentuknya perpaduan antara keong dan siput (bukannya itu sama?), tetapi rasanya enak sekali. Ini pertama kalinya saya tahu dan memakan makhluk yang namanya Gonggong.

Setelah makan siang, saya langsung diantar menuju pelabuhan untuk kembali ke Batam karena malam harinya masih ada meeting lagi dan besoknya saya harus kembali ke Jakarta. 


Pekanbaru

Kota berikutnya di Sumatera yang saya kunjungi adalah Pekanbaru. Tidak banyak informasi yang sebelumnya saya dapat mengenai Pekanbaru, sehingga kunjungan ke Pekanbaru hanya sebatas meeting dengan media-media setempat.

Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru
Mendarat di Pekanbaru, kesan pertama saya adalah bahwa kota ini sangat panas. Tidak butuh waktu lama untuk membuat baju saya basah kuyup karena keringat.

Setelah selesai makan malam di hotel, teman-teman media mengajak keluar mencari penjual durian untuk hidangan pencuci mulut. Baiklah, saya memang suka durian walaupun selama ini cara saya makan durian adalah dengan menggunakan sendok, atau memakai plastik untuk memegang duriannya, agar tangan saya tidak bau durian.

Saya paling risih/tidak nyaman apabila tangan saya terkena makanan yang lengket-lengket. Ini juga alasannya saya selalu makan nasi dengan menggunakan sendok, tidak pernah memakai tangan langsung. Bule ningrat lah pokoknya.. hehehe..

09 June, 2014

Padang dan Bukittinggi

 

Padang

Bandara Internasional Minangkabau, Padang
Cita-cita sejak awal adalah mencoba masakan Padang di tempat asalnya, ternyata tiba di Padang sudah lewat jam makan siang, sehingga saya langsung meeting. Baiklah, masakan Padangnya untuk makan malam saja.

Selesai meeting, saya sempatkan keliling-keliling untuk melihat kota Padang dan mengunjungi kantor cabang serta showroom Lejel sebelum kembali ke hotel.

Ternyata rencana makan masakan padang belum bisa terwujud karena tuan rumah mengajak makan malam di pinggir pantai dengan menu ikan bakar. Walaupun tidak sesuai dengan cita-cita, tetapi sama sekali tidak menyesal karena masakannya enak. Walaupun bukan restauran Padang, tetap masakan padang juga namanya, karena sedang di Padang.


Bukittinggi

Jam Gadang, Bukittinggi
Hari ke dua di Padang, saya berangkat ke Bukittinggi pagi-pagi karena ada meeting pukul 11:00 dengan stasiun TV di Bukittinggi.

Atas usul pengemudinya, di tengah perjalanan saya sempat mampir di Sate Padang Mak Syukur. Saya baru tahu kalau "sistemnya" sama dengan rumah makan Padang. 

Setelah bersusah payah menghabiskan tumpukan sate sambil menggerutu dalam hati karena pengemudi saya hanya mengambil kurang dari sepuluh tusuk, sementara sisanya masih banyak, di mobil saya bilang ke pengemudi, kenapa cuman ambil sedikit, jadinya saya kekenyangan menghabiskan 20 tusuk lebih.. Pengemudinya justru menjawab, "Saya kira Bapak doyan sekali, khan kita cuman perlu bayar yang kita ambil?" Nah? Padahal kalau di Rumah Makan Sederhana, bukankah satenya per porsi? Kenapa di sini per tusuk?

06 June, 2014

Banda Aceh

Daerah Operasi Militer, Gerakan Aceh Merdeka, Tsunami, rakyat Aceh menyumbangkan hartanya untuk membeli pesawat Indonesia yang pertama - Seulawah, dan banyak cerita lainnya, membuat saya sangat antusias untuk segera tiba di Aceh.

Aceh Tsunami Museum, Banda Aceh
Setelah penerbangan yang cukup panjang karena transit terlebih dahulu di Medan, akhirnya di tahun 2011 itu saya mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda dan untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Bumi Serambi Mekah.

Saya hanya menginap semalam di Aceh, dan keesokan harinya, sebelum ke bandara, saya menyempatkan untuk berkeliling melihat kota Banda Aceh dan mampir ke Aceh Tsunami Museum.

Museumnya bagus, megah, bersih dan dilengkapi pendingin udara. Mengingatkan saya pada beberapa museum di luar negeri yang pernah saya kunjungi. Tidak dipungut biaya untuk masuk museum ini, dan di dalamnya juga terdapat theatre yang menayangkan dokumentasi bencana Tsunami di Aceh.

Sayangnya, dari beberapa artikel di internet yang saya baca akhir-akhir ini, museum ini memerlukan ekstra perawatan, khususnya perawatan kebersihan di dalam museum.


Business Trip

Business trip selalu dilakukan dua kali dalam setahun, pada pertengahan dan menjelang akhir tahun. Melelahkan? Pastinya sangat lelah.. Setiap serinya saya mengunjungi 34 propinsi, dalam waktu maksimal 3 bulan. Masuk kantor di Jakarta hanya setiap hari Senin, kemudian Selasa sampai dengan Jumat, kadang sampai Sabtu saya beredar dari kota ke kota.

Bangun pagi-pagi buta, untuk rute tertentu bahkan berangkat jam dua dini hari ke bandara, menunggu boarding, duduk berjam-jam di pesawat, begitu tiba langsung meeting di beberapa tempat, tidak jarang setelah check-in di hotel hanya sempat mandi kemudian disambung makan malam dan lobby-loby dengan teman-teman media setempat sampai setidaknya jam sepuluh malam, sementara keesokan harinya sudah harus berangkat lagi ke bandara jam enam pagi, kadang bahkan subuh.

Dengan bangganya, saya selalu mengatakan bahwa saya sudah pernah mengunjungi semua propinsi, dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Tetapi saya jarang mengatakan bahwa di sebagian besar propinsi itu, saya hanya melihat bandara, pemandangan sepanjang perjalanan menuju hotel dan dari hotel menuju bandara lagi, serta hotelnya.

Salah satu cara menghibur diri dan melupakan lelah adalah menganggap business trip ini sebagai sebuah liburan gratis. Biaya tiket, hotel, makan dan lain-lain ditanggung perusahaan, diberi uang saku pula.


05 June, 2014

Dari Barat sampai ke Timur Indonesia

Indonesia begitu luasnya. Itu yang sejak kecil saya ketahui dari bangku sekolah. Tetapi sampai dengan usia saya yang ke 40 tahun, beberapa tahun yang lalu, saya hanya pernah mengunjungi beberapa kota besar, ibukota-ibukota propinsi di pulau Jawa, pulau Madura dan pulau Bali.

Saya selalu ingin mengunjungi kota-kota di Indonesia, tetapi tidak tahu juga apa yang akan saya lakukan di kota-kota itu. Teman tidak punya, apalagi saudara. Masih ditambah lagi dengan biaya perjalanan yang tidak murah, bahkan lebih mahal dibandingkan apabila kita berlibur ke luar negeri.

Hingga kemudian saya mulai bekerja di Lejel Home Shopping pada tahun 2010, barulah saya berkesempatan mengunjungi pulau-pulau dan kota-kota yang selama ini hanya saya ketahui dari buku, majalah dan tayangan televisi.

Lejel Home Shopping memiliki cabang di setiap ibukota propinsi dan salah satu tugas saya adalah mengunjungi kota-kota dimana terdapat cabang dari Lejel Home Shopping, untuk menjalin kerjasama dengan media setempat.

Dengan bangganya, saya bisa mengatakan bahwa saya sudah menjelajahi Indonesia dari Barat sampai ke Timur, dari Banda Aceh hingga Jayapura.